AM_SP-02


Serial ARYA MANGGADA

Episode III: SANG PENERUS

JILID 2

kembali | lanjut

AMSP-02MANGGADA dan Laksana memang membantu orang tua itu. Ketika legen itu menjadi kental, maka orang tua itu mulai menuangnya kedalam tempurung yang memang dibuat untuk mencetak gula kelapa itu.

Tetapi legen yang sudah mengental itu disisakan sedikit didalam kuali, untuk merebus ketela pohon yang sudah dikukus dan dibersihkan.

Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu telah duduk diruang dalam sambil menikmati ketela yang terasa sangat manis. Namun setiap kali Manggada dan Laksana menyinggung-nyinggung tentang kemungkinan datangnya orang-orang seperti yang dikatakan oleh Kundala, Ki Gumrah selalu saja menghindar.

“Nanti saja kita bicarakan. Jika kita berbicara sambil makan, maka ketela pohon ini rasanya jadi lain” desis orang tua itu.

Akhirnya Manggada dan Laksana tidak lagi berusaha untuk berbicara tentang kedatangan orang-orang yang dikatakan oleh Kundala itu.

Bahkan beberapa saat kemudian, maka Ki Gumrah itu bangkit sambil berkata, “Aku harus menyerahkan gula itu kepada pedagang disebelah. Jika ia sudah terlanjur membawa gulanya ke pasar, maka aku harus menunggu lagi sampai besok.”

“Tetapi bukankah hari telah siang? Pedagang gula itu tentu sudah berangkat ke pasar” desis Manggada.

“Ia tidak menjual sendiri gulanya dipasar. Ia tidak memasokkan gulanya kepada pedagang yang lebih besar, sehingga ia tidak harus berangkat pagi-pagi ke pasar.” Jawab Kiai Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak menjawab lagi. Tetapi bagi mereka, orang tua itu memang orang tua yang aneh. Sikapnya sulit dimengerti.

Beberapa saat kemudian, orang tua itu telah sibuk menghitung gulanya di belakang sambil berlagu. Dengan demikian, maka orang tua itu tidak kehilangan angka selama ia menghitung.

Ketika Ki Gumrah kemudian membawa gulanya yang ditempatkannya dalam keranjang, maka ia pun berpesan, “Tolong, tunggu rumah ini. Tidak akan terjadi apa-apa di siang hari.”

Manggada dan Laksana pun kemudian duduk di serambi depan rumah itu sambil memandangi pepohonan di halaman yang mulai nampak bersih. Dari sela-sela pintu regol yang terbuka, mereka melihat beberapa orang berjalan di jalan yang tidak terlalu lebar dimuka rumah itu.

Namun dinding halaman Ki Gumrah memang tidak terlalu tinggi. Seperti dinding rumah di sebelah menyebelahnya, yang pada umumnya bukan rumah-rumah yang baik dan besar, memang tidak terlalu tinggi dan sederhana. Tidak lebih dari pecahan batu kali yang dilekat pakai tanah liat.

Dalam pada itu kedua orang anak muda itu ternyata menunggu terlalu lama. Tidak seperti yang pernah dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya, yang hanya memerlukan waktu beberapa saat. Tetapi ketika itu rasa-rasanya Manggada dan Laksana sudah menunggu cukup lama diserambi. Namun Ki Gumrah tidak segera juga kembali.

“Apakah Ki Gumrah menyusul pergi ke pasar setelah pedagang gula itu tidak ditemuinya dirumah?” desis Laksana.

“Memang mungkin. Mungkin Ki Gumrah juga ingin melihat, siapa yang telah ditemui oleh Kundala” sahut Manggada.

“Tetapi jaraknya sudah terlalu lama. Kundala datang kemari sebelum Ki Gumrah mulai membuat gula” gumam Laksana kemudian.

Manggada memang mengangguk-angguk. Namun ia masih menjawab, “Kundala masih harus mencari orang itu diantara orang sepasar. Tetapi agaknya jaraknya memang terlalu jauh.”

Manggada dan Laksana yang masih saja duduk di serambi itu menjadi gelisah. Tetapi keduanya pun kemudian turun kehalaman. Beberapa saat mereka memperhatikan sebatang pohon sawo yang buahnya cukup lebat dan bahkan sudah cukup tua untuk dipetik.

“Aku akan memanjat pohon sawo ini saja.” Berkata Laksana.

Manggada termangu-mangu. Namun sebelum Laksana mulai naik, Ki Gumrah pun telah datang. Sambil tertawa ia berkata, “Kalian menunggu terlalu lama? Ternyata pedagang gula itu sudah pergi. Aku memang harus pergi ke pasar.”

Tetapi Manggada segera menyambut, “Apakah Kiai ingin melihat orang yang ditemui Kundala?”

Ki Gumrah mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Ternyata panggraita-mu tajam ngger. Aku memang ingin melihatnya.”

“Dan Kiai berhasil melihat orang itu?” bertanya Manggada.

Kiai Gumrah menggeleng sambil menjawab, “Tidak ngger. Aku terlambat. Agaknya mereka telah pergi. Aku hanya sempat melihat burung elang itu.”

“Kiai melihat burung elang itu lagi?” bertanya Laksana.

“Ya. Aku melihat kemana arah burung itu terbang sambil berputaran. Tentu perjalanan Kundala dan orang yang telah ditemuinya di pasar itu.” jawab Ki Gumrah.

Manggada dan Laksana berpandangan sejenak. Dengan dahi yang berkerut Manggada berkata, “Kiai, seharusnya Kiai memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi malam nanti. Nampaknya apa yang dikatakan Kundala akan dapat menjadi ancaman yang sebenarnya bagi Kiai.”

Kiai Gumrah mengangguk-angguk kecil. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Dengan nada rendah ia berkata, “Sebenarnya aku justru memikirkan kalian berdua, tetapi agaknya aku tidak akan berhasil mengusir kalian.”

“Apakah Kiai masih akan tetap bertahan? Nama Windu Kusuma dan orang yang sedang dijemput Kundala adalah orang-orang yang benar-benar harus Kiai pertimbangkan.” berkata Manggada.

Kiai Gumrah menarik nafas panjang. Katanya, “Kalian sudah mengetahui sikapku. Seharusnya kalian tidak mendesak lagi.”

Manggada dan Laksana terdiam. Nampaknya hati orang tua itu telah mengeras.

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Namun tiba-tiba orang tua itu berkata dengan nada tinggi, “Hari sudah cukup siang. Aku harus mulai bekerja di dapur. Menanak nasi dan menyiapkan laukipauknya. Tolong kau petik sayuran dikebun.”

Orang tua itu tidak menunggu jawaban Manggada dan Laksana. Ia pun segera masuk ke rumahnya dan langsung pergi ke dapur. Diambilnya beras dan dibawanya ke sumur untuk dicuci sebelum ditanak.

Sementara itu Manggada dan Laksana sudah berada di kebun. Sambil memetik kacang panjang Manggada berkata, “Kita benar-benar telah melihatkan diri dalam satu persoalan yang tidak kita mengerti dengan jelas. Kau benar. Mungkin kita tidak akan dapat keluar lagi dari rumah ini.”

“Apaboleh buat. Kita agaknya telah terjebak dalam putaran keingintahuan kita terhadap persoalan yang terjadi disini. Tetapi selain itu, rasa-rasanya tidak adil untuk membiarkan Kiai Gumrah mengalami nasib buruk bukan karena pokalnya sendiri. Ia menerima titipan itu agaknya dengan maksud baik. Tetapi titipan itu telah membuatnya mengalami kesulitan dihari tuanya. Sementara itu Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak bersedia melepaskan tanggung jawabnya atas barang-barang titipan yang menjadi tidak jelas itu.” sahut Laksana.

Manggada tidak menjawab lagi. Mereka melihat orang tua, itu datang kepada mereka. Sambil tersenyum orang tua itu berkata, “Apakah kalian telah mendapatkannya?”

“Ya Kiai. Segenggam kacang panjang.”

“Itu sudah cukup. Dengan kulit melinjo dan sedikit daunnya yang masih muda, kita akan mendapatkan sekuali sayur lodeh.” berkata orang tua itu.

Merekapun kemudian telah meninggalkan kebun dan pergi ke dapur. Manggada dan Laksana telah mencoba membantu orang tua itu untuk masak di dapur.

Hari itu, mereka bertiga tidak mengalami sesuatu di rumah itu. Tidak ada orang yang datang apalagi untuk, mengambil pusaka-pusaka yang dititipkan dirumah itu.

Namun sebelum senja Kiai Gumrah itu pun berkata, “Angger berdua. Sebentar lagi kami akan mendapat dua orang tamu. Mereka adalah tetangga sebelah. Kawan-kawanku berjualan gula. Selain keduanya, juragan gula yang sering mengambil gulaku itu juga akan datang kemari. Kami sepakat untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Hari ini adalah hari lahirku. Umurku telah genap delapan windu. Jika aku seorang berada maka aku akan mengadakan peringatan tumbuk ageng.”

“Jadi Kiai sudah genap berumur delapan windu?” bertanya Manggada.

“Ya. Umurku genap delapan windu.” jawab orang tua itu.

“Dan Kiai masih juga setiap hari pagi dan sore memanjat batang kelapa untuk menyadap legennya.” Sambung Laksana.

Orang tua itu tersenyum. Sementara Manggada berkata pula, “Bukan hanya menyadap legen. Tetapi Kiai masih dapat menundukkan Kundala dan kawannya itu.”

“Sudahlah. Tetapi nanti malam aku akan makan bersama mereka meskipun seadanya. Sebenarnya aku tidak pernah mengingat-ingat peringatan delapan windu itu. Tetapi mereka justru ingat dan tanpa aku undang, mereka bertiga berniat untuk datang.” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu maka Ki Gumrah pun telah minta Manggada dan Laksana menangkap seekor ayam yang cukup besar tetapi belum terlalu tua untuk dipersiapkan menjadi hidangan makan bagi ketiga orang tamunya.

Ketika senja turun, maka bertiga seisi rumah itu menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu yang bakal ikut berjaga-jaga memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah. Selain menyiapkan nasi dan lauk pauknya. Kiai Gumrah juga telah merebus ketela pohon dengan legen. Bahkan bukan hanya ketela pohon, tetapi juga sukun yang dipetiknya dari pohonnya di kebun belakang.

Namun dalam pada itu, ketika Manggada dan Laksana berdua saja di dapur, maka Manggada itupun berkata, “Kau percaya bahwa mereka datang untuk memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah itu?”

“Aku sedang memikirkannya” jawab Laksana.

“Nampaknya ini adalah satu cara Kiai Gumrah untuk membuat rumah ini tidak terlalu sepi. Jika keempat orang itu berjaga-jaga semalam suntuk, maka orang-orang yang akan datang memaksakan kehendaknya itu harus berpikir ulang. Orang-orang yang datang itu harus memperhitungkan kehadiran tetangga-tetangga Kiai Gumrah yang akan dapat mengganggu tugas mereka.” berkata Manggada meskipun agak ragu.

“Tetapi jika orang-orang yang datang itu orang-orang sebiadab Panembahan Lebdadadi, apakah tamu-tamu Kiai Gumrah itu tidak akan mengalami nasib buruk? Orang itu tidak akan menjadi segan karena kehadiran orang lain, tetapi mereka justru marah dan orang-orang itu akan diselesaikan menurut caranya.”

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang pintu dapur. Ketika ia yakin bahwa Kiai Gumrah masih belum nampak dipintu dapur, serta langkahnya masih belum terdengar, maka Manggada pun berbisik, “Memang satu dari sepuluh kemungkinan. Tetapi tetap dapat terjadi. Orang-orang yang akan datang ikut memperingati delapan windu umur Kiai Gumrah adalah bukan orang kebanyakan.”

Laksana hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi kemungkian itu memang ada meskipun seperti dikatakan oleh Manggada, satu dari sepuluh.

Ketika kemudian Kiai Gumrah masuk lagi kedapur, maka mereka tidak berbincang lagi. Mereka bertiga nampak sibuk menyiapkan hidangan, mangkuk-mangkuknya serta makanan yang sedang dijerang diatas api. Meskipun sekedar ketela pohon dan sukun yang direbus dengan legen.

Sementara Kiai Gumrah menyelesaikan pekerjaan didapur, maka Manggada dan Laksana telah menyalakan lampu diseluruh sudut rumah. Oncor di regol pun telah dinyalakan pula, sementara langit menjadi semakin buram. Malam perlahan-lahan mulai turun menyelimuti belahan bumi.

Ketika lampu-lampu telah menyala, maka Kiai Gumrahpun mulai mempersiapkan mangkuk dan perlengkapannya. Sementara nasi masih tetap berada diatas api.

“Biar nasi itu tetap hangat” berkata Kiai Gumrah sambil sibuk hilir mudik didapur.

Beberapa saat kemudian, maka pintu rumah itu pun telah diketuk orang. Terdengar suara renyah memanggil, “Kiai, Kiai Gumrah. Aku sudah mencium bau masakanmu.”

“Mereka telah datang” berkata Kiai Gumrah.

Manggada pun kemudian telah bergegas pergi ke ruang depan. Ketika ia membukakan pintu, maka dilihatnya tiga orang berdiri diluar pintu.

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu seorang diantara mereka bertanya, “Siapa kau anak muda?”

Manggada menjadi bingung. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku cucu Kiai Gumrah.”

“O, jadi cucu Kiai Gumrah sudah sebesar ini?”

“Ya” terdengar suara Kiai Gumrah, “dua orang cucuku ada disini sekarang. Marilah, silahkan masuk.”

Ketiga orang itupun kemudian melangkah masuk. Pintu pun ditutup rapat kembali. Sementara Kiai Gumrah mempersilahkan ketiga orang tamunya untuk naik dan duduk di amben yang cukup besar diruang dalam rumah itu.

Dengan nada dalam seorang diantara mereka bertanya, “Sejak kapan mereka ada disini?”

“Beberapa hari yang lalu. Aku senang mereka berada disini. Mereka dapat membantu membersihkan halaman dan menimba air untuk mengisi jambangan di kamar mandi dan gentong didapur.”

“Apakah mereka sudah dapat menyadap legen?” bertanya yang lain.

“Belum” jawab Kiai Gumrah, “aku belum mengajarinya. Tetapi dalam beberapa minggu, mereka akan dapat melakukannya.”

Kepada Manggada yang baru saja menutup pintu Kiai Gumrah berkata, “He, siapkan minuman dan makanan. Nasinya nanti saja. Jika nasi itu tergesa-gesa dihidangkan, mereka akan segera pulang sebelum wayah sepi bocah.”

Ketiga orang tamu itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Kalau saja nasi itu boleh dibungkus, maka aku akan minta diri sekarang juga.”

Kiai Gumrah pun tertawa berkepanjangan. Sementara itu Manggada telah pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman bagi ketiga orang tamunya dan bagi Kiai Gumrah itu sendiri.

Ketika kemudian Laksana menghidangkan minuman dan makanan, maka seorang tamunya bertanya, “inikah cucumu yang seorang lagi?”

“Ya” jawab Kiai Gumrah, “sudah lama mereka tidak menengok aku. Aku sendiri hampir saja tidak mengenal mereka lagi.”

“Beruntunglah kau” berkata yang lain, “bahwa masih ada cucumu yang sempat menengokmu. He, dimana anakmu sekarang tinggal? Sudah lama ia tidak pula datang menengokmu.”

“Ia berada ditempat yang jauh. Nah, sekarang, minuman dan makanan sudah dihidangkan. Minumlah dan makanlah.” Kiai Gumrah mempersilahkan.

Laksana yang telah berada didapurpun berdesis, “Orang-orang tua. Mereka sempat juga berkelakar.”

“Apakah kau kira orang-orang tua sudah kehilangan selera leluconnya? Mereka masih berhak mentertawakan kelucuan, juga kelucuan yang dilihatnya dalam kehidupan ini.” berkata Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Kegembiraan itu akan dapat membuat mereka menghambat laju ketuaan mereka.”

Manggadapun tersenyum juga. Katanya, “Ya. Nampaknya mereka masih akan berkelakar sepanjang malam. He, tidak seorangpun diantara mereka memberikan pernyataan atau ucapan selamat kepada Kiai Gumrah.”

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu diruang dalam, keempat orang tua itu masih saja berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Kemudian tertawa lagi berkepanjangan.

“Apakah mereka betah berbicara sepanjang malam?” desis Manggada.

Tetapi sebelum Laksana menjawab, Kiai Gumrah telah memanggil Manggada.

“Bawa mangkuk satu ngger.”

Manggada pun segera bangkit dan mengambil sebuah mangkuk. Tetapi ia bergumam, “Untuk apa?”

Laksana tidak menjawab. Ia tidak tahu untuk apa sebuah mangkuk itu. Tentu tidak untuk minum atau makan makanan.

Tetapi terdengar Kiai Gumrah itu berkata pula, “Bawa pula sebuah nampan kecil.”

Manggada dan Laksana semakin tidak mengerti. Namun Manggada kemudian mengantarkan mangkuk dan nampan kecil itu.

Tetapi kedua anak muda itu semakin tidak mengerti ketika Kiai Gumrah minta agar Manggada mengambil beberapa lembar daun ketela pohon dibelakang rumah.

“Untuk apa, Kiai?” bertanya Manggada diluar sadarnya.

“Ah, anak-anak tidak usah tahu” jawab Kiai Gumrah.

Manggada termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian telah pergi ke halaman belakang untuk memetik beberapa helai daun ketela pohon.

Baru kemudian Manggada dan Laksana tahu, bahwa orang-orang tua itu akan bermain dadu. Lembar-lembaran daun ketela pohon itu dipergunakan untuk menghitung kekalahan dan kemenangan diantara mereka. Yang mereka dengar pembicaraan orang-orang tua itu adalah, bahwa taruhan yang diperhitungkan dengan lembar-lembar daun ketela itu kemudian akan dibayar dengan gula kelapa.

“Ada-ada saja” gumam Manggada.

“Untuk mencegah kantuk.” sahut Laksana.

“Kita menunggu disini untuk menyiapkan makan malam mereka. Sayur dan lauk pauknya tentu sudah menjadi dingin.” desis Manggada pula.

Tetapi Laksana berpaling keperapian. Apinya memang kecil saja. Tetapi nasi yang masih saja belum disenduk didalam kuali agaknya akan tetap hangat.

Beberapa saat kemudian, terdengar orang-orang tua itu bermain dadu dengan riuhnya. Setiap kali terdengar suara tertawa berkepanjangan. Namun kemudian hening. Yang terdengar adalah suara dadu didalam mangkuk yang sedang diguncang diatas nampan kecil sebelum kemudian dibuka.

Ternyata permainan itu nampaknya cukup mengasikkan bagi orang-orang tua itu. Mereka tenggelam dalam kegembiraan tersendiri. Mereka seakan-akan melupakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.

Dalam pada itu, Manggada dan Laksana lah yang mulai terkantuk-kantuk didapur. Bahkan Laksana telah berbaring diamben panjang.

“Sampai kapan kami menunggu” desis Laksana.

“Sudah lewat wayah sepi bocah. Sebentar lagi makan itu harus dihidangkan.” jawab Manggada.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka Kiai Gumrah telah memanggil Laksana. Demikian Laksana sambil membenahi pakaiannya melangkah mendekati. Kiai Gumrah itupun berkata, “Nah, kalian siapkan makan malam. Bukankah nasi masih hangat?”

“Ya kek. Nasi masih diatas perapian.” Jawab Laksana.

“Bagus. Asal tidak menjadi hangus.” sahut Kiai Gumrah.

Demikianlah, maka Laksana dan Manggada pun menjadi sibuk menyenduk nasi dan menyiapkan lauk pauknya.

Kemudian menghidangkannya dengan mangkuk-mangkuk dan peralatannya yang lain. Dengan terampil Manggada sudah dapat membuat sambal terasi untuk melengkapi lauk pauknya.

Sejenak kemudian, maka permainan dadu itu pun berhenti untuk sementara. Ketika orang-orang tua itu makan, maka terdengar lagi kelakar mereka. Manggada dan Laksana yang mendengarkan kelakar itu mengetahui, bahwa Kiai Gumrah ternyata menderita kekalahan dalam permainan dadu itu. Esok ia harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa kepada ketiga orang lawannya meskipun jumlahnya tidak sama.

“Tetapi kita akan meneruskan permainan ini sesudah makan” berkata Kiai Gumrah, “mungkin akan terjadi sebaliknya. Akulah yang menang, sehingga kalian semualah yang harus menyerahkan beberapa tangkap gula kelapa kepadaku.”

Yang lain tertawa. Seorang diantara mereka berkata, “Tetapi yang terjadi justru lain. Hutangmu bertambah banyak, sehingga hasil sedapanmu tiga hari akan habis kau pakai untuk membayar hutang.”

Keempat orang tua itu tertawa semakin ramai.

Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang tidak terlibat dalam permainan dadu itu sekali-sekali melepaskan perhatian mereka dari keempat orang yang sedang makan sambil berkelakar itu. Untuk mencegah kantuk, maka Manggada berniat untuk keluar dari dapur lewat pintu butulan. Karena itu, maka iapun telah mengangkat selarak pintu butulan.

Tetapi Manggada itu pun mengurungkan niatnya. Demikian ia mengangkat selarak, maka ia pun mendengar langkah kaki menjauh dari pintu itu. Meskipun dengan sangat berhati-hati, namun karena tergesa-gesa karena pintu itu tiba-tiba saja akan dibuka, maka langkah kaki itu dapat didengar oleh Manggada.

Laksana yang melihat Manggada mengurungkan niatnya dan memasang kembali selarak pintu itupun segera bangkit. Tetapi Manggada cepat memberi isyarat agar ia tidak berkata apa-apa.

Manggada lah yang kemudian bergeser menjauhi pintu itu. Baru kemudian setelah ia berada agak jauh dari pintu dan dinding dapur, ia berkata sambil berbisik, “Aku mendengar langkah orang diluar.”

Laksana mengangguk-angguk. Hal seperti itu memang sudah dikira sebelumnya. Jika tidak malam itu, tentu malam berikutnya atau pada malam berikutnya lagi. Sebagaimana dikatakan oleh Kundala, maka niat untuk mengambil pusaka-pusaka itu akan diteruskan kapanpun itu dilaksanakan.

“Apakah kita akan memberitahukan kepada Kiai Gumrah?” desis Laksana.

“Ya, mumpung mereka sedang berhenti bermain dadu.” jawab Manggada.

Laksana pun mengangguk-angguk. Katanya perlahan, “Katakan kepada Kiai Gumrah. Aku akan memperhatikan pintu dan dinding dapur ini. Meskipun orang itu telah bergeser, tetapi ada kemungkinan kembali dan mengamati dapur ini lagi jika pintu tidak jadi kau buka.”

Manggada mengangguk kecil. Ia pun kemudian pergi menemui Kiai Gumrah yang masih sedang makan bersama ketiga orang tamunya.

Demikian Manggada mendekat dengan ragu-ragu, seorang diantara tamunya itu berkata, “Mari ngger. Apa lagi yang akan kau hidangkan?”

“Jangan ragu-ragu” berkata tamu Kiai Gumrah yang lain, “apapun yang kau bawa kemari, akan kami habiskan sampai tuntas. Orang-orang yang kerjanya menyadap legen biasanya makannya terlalu banyak. Bahkan apa saja dimakannya.”

Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Manggada pun ikut tertawa pula. Namun kemudian iapun berkata, “Bukan hidangan yang akan aku sampaikan kepada kakek. Tetapi aku memberitahukan bahwa diluar agaknya ada tamu.”

Kiai Gumrah mengerutkan keningnya. Namun salah seorang kawannya itupun berkata, “Ah, masa malam-malam begini ada tamu.”

“Dari mana kau tahu? Apakah ia mengetuk pintu dapur?”

Manggada memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Kiai Gumrah itu berkata, “Katakan. Kakek-kakek yang lain ini tidak akan tahu maksudnya.”

Manggada masih saja ragu-ragu. Bahkan ia menjadi gelisah. Jika ketiga orang kakek yang lain itu tidak tahu menahu persoalannya, maka mereka akan dapat mengalami kesulitan justru karena mereka ada di rumah Kiai Gumrah.

Namun Manggada itu akhirnya berkata, “Kek. Aku hanya mendengar langkah kaki di luar dapur. Tetapi aku belum menengok, siapa yang ada diluar.”

“Ah, biarkan saja tamu itu jika ia tidak mengetuk pintu” berkata salah seorang tamunya, “barangkali ia ingin ikut menghormatimu yang sekarang ini memperingati umurmu genap sepuluh windu.”

“Tidak sepuluh windu. Tetapi delapan windu. Aku memperingati tumbuk agengku.” sahut Kiai Gumrah.

Tetapi tamunya itu tertawa. Bahkan kemudian ia bertanya, “Berapa sebenarnya umurmu? Delapan windu, sepuluh windu atau berapapun orang mengatakannya?”

Keempat orang itu tertawa meledak. Sementara Manggada masih berdiri termangu-mangu. Nampaknya mereka tidak begitu menghiraukan pemberitahuan Manggada yang menganggap bahwa bahaya telah mengintai diluar. Namun karena Manggada masih berdiri saja di tempatnya, Kiai Gumrah pun berkata, “Baiklah ngger. Aku memang menunggu tamu itu mengetuk pintu. Menurut ingatanku, aku hanya mengundang ketiga orang tetanggaku ini yang umurnya sudah sebaya dengan umurku. Meskipun demikian jika ada orang lain yang mengetahuinya dan sudi untuk ikut beramai-ramai bermain-main disini, aku akan menerimanya dengan senang hati.”

“Jadi kita menunggu tamu itu mengetuk pintu kek?” bertanya Manggada.

“Ya. Hanya mereka yang mengetuk pintu sajalah yang aku anggap sebagai tamu.” jawab Kiai Gumrah.

Seorang tamunya yang sedang makan tiba-tiba menyahut, “Seandainya tamu itu mengetuk pintu juga, biarlah nanti saja dipersilahkan setelah aku selesai makan. Kedatangan orang baru hanya akan mengurangi bagianku saja.”

Orang-orang tua itu tertawa lagi, sementara Manggada masih berdiri ditempatnya.

Namun Kiai Gumrah yang melihat Manggada menjadi gelisah berkata, “Baiklah. Kembalilah kedapur. Jika tamu itu nanti mengetuk pintu, biarlah aku membukakannya.”

“Jika tamu itu mengetuk dapur?” bertanya Manggada.

“Panggil aku. Biar aku sajalah yang membuka pintu.” jawab Kiai Gumrah.

Manggadapun kemudian kembali kedapur. Dilihat nya Laksana masih berada ditempatnya. Perhatiannya terutama tertuju ke pintu butulan itu. Meskipun demikian ia memperhatikan pula dinding dapur yang menghadap langsung ke halaman samping.

Sebenarnyalah ada beberapa orang diluar rumah itu. Orang-orang sebagaimana dikatakan oleh Kundala. Mereka telah datang untuk mengambil pusaka-pusaka sebagaimana pernah dilakukan oleh Kundala dan seorang kawannya.

Orang-orang yang ada diluar itu mendengar pembicaraan antara Manggada dengan Kiai Gumrah dan tamu-tamunya. Sikap Kiai Gumrah yang seakan-akan tidak menghiraukan mereka membuat orang-orang itu merasa tersinggung. Namun mereka masih saja menganggap bahwa Kiai Gumrah tidak tahu siapakah yang telah datang itu.

“Orang dungu itu mengira bahwa kita adalah tetangga-tetangganya yang datang untuk mendapatkan hidangan.” desis salah seorang dari mereka.

“Aku akan mengetuk pintu” berkata seorang yang lain.

Tetapi orang yang memimpin kelompok kecil itu mencegahnya. Katanya, “Tidak. Kau tidak akan mengetuk pintu.”

“Apakah kita akan masuk lewat pintu dapur?” bertanya orang itu.

“Juga tidak” jawab pemimpin kelompok itu.

“Jadi bagaimana?”

“Aku akan membuka pintu itu.” desis pemimpin kelompok itu.

Tetapi sebelum ia melangkah mendekat maka seorang yang lain telah mendahuluinya sambil berkata, “Biar aku sajalah yang membuka pintu itu.”

Namun orang-orang yang ada diluar itu terkejut. Mereka tidak menduga bahwa percakapan itu didengar oleh orang-orang yang sedang berkelakar didalam. Ternyata orang yang ada didalam rumah itu menyahut dengan suara lantang dan bahkan seakan-akan melingkar-lingkar di halaman, “Jika kau memang tidak tahu diri bagaimana seorang tamu mengunjungi rumah orang lain, maka buka sajalah pintunya. Kalian tidak usah berebut merusak pintu itu meskipun dengan demikian kalian ingin menunjukkan kelebihan kalian. Pintu itu terbuat dari bambu dan gedeg yang akan koyak dilanggar seekor kucing. Tanpa Aji Rogrog asem pun pintu akan patah. Karena itu buka sajalah. Pintu itu tidak diselarak.”

Suasanapun menjadi hening sejenak. Namun tiba-tiba seorang tamu Kiai Gumrah yang sedang makan itu berkata, “Marilah, kita selesaikan hidangan ini. Aku hampir selesai. Tinggal menghabiskan sepotong paha ini. Gigiku nampaknya sudah tidak setajam gigi kucing lagi.”

“Jika mereka akan masuk, biarlah mereka masuk. Tetapi kita tidak akan dapat membagi hidangan ini dengan mereka.” berkata tamu yang lain.

Manggada dan Laksana mendengar lontaran kata-kata itu. Mereka berdua menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah mendekati Laksana, Manggada berkata lirih, “Ternyata mereka bukan orang kebanyakan. Tanggapan mereka terhadap orang-orang yang berada diluar pintu sangat meyakinkan.”

“Ya. Sekarang kita tahu, bahwa Kiai Gumrah bukan satu-satunya orang yang menunggui pusaka-pusaka itu. Mungkin juga ceriteranya tentang pusaka-pusaka itu tidak benar.” desis Laksana.

Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang tidak dapat segera mengambil kesimpulan. Tetapi niat orang-orang itu mengambil pusaka yang ada dirumah ini benar. Apapun alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi dibalik ceritera Kiai Gumrah tentang pusaka-pusaka itu, namun agaknya memang hak Kiai Gumrah untuk mempertahankannya.”

Laksana mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya. Bagi kita, persoalannya menjadi semakin rumit.”

“Justru semakin menarik” sahut Manggada, “aku menjadi semakin ingin mengetahui persoalan yang berkembang selanjutnya. Apalagi setelah kita tahu bahwa persoalannya berhubungan dengan Panembahan Lebdadadi dan elangelangnya.”

Keduanya terdiam ketika mereka mendengar pintu berderit keras seperti dihempaskan. Keduanya segera mengetahui bahwa orang-orang yang ada diluar itu telah membuka pintu rumah itu. Bahkan dengan kasar.

Hampir diluar sadarnya Manggada dan Laksana pun telah bergeser ke ruang dalam untuk melihat, apa yang bakal terjadi.

Keduanya menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang tua yang sedang makan itu adalah bukan orang kebanyakan. Mereka sama sekali tidak terkejut atau menjadi ketakutan melihat beberapa orang berdiri di pintu rumah itu. Mereka bahkan seakan-akan tidak menghiraukan mereka sama sekali. Seorang diantara tamu Kiai Gumrah itu masih sempat meraih sepotong daging ayam dan menyumbatkan kedalam mulutnya. Sementara yang lain sambil memandang orang yang berdiri dipintu itu berkata, “Kalian terlambat datang. Tinggal nasi, sayur dan sambal. Ayam yang dihidangkan terlalu kecil untuk kami berempat. Apalagi untuk kalian. He, kalian datang bersama berapa orang?”

“Kiai Gumrah” berkata orang yang berdiri didepan pintu, “ternyata kau sempat mengumpulkan kawan-kawanmu. Tetapi mereka akan menyesal setelah mereka tahu dengan siapa mereka berhadapan sekarang.”

“O” sahut yang sedang mengunyah daging ayam, “jika demikian apakah kau bersedia memberitahukan, dengan siapa kami berhadapan sekarang?”

“Aku adalah Kiai Windu Kusuma. Yang berdiri di sampingku ini adalah Putut Sempada. Kami datang bersama beberapa orang berilmu tinggi yang sudah lama kami persiapkan.”

“Kiai Windu Kusuma. Jadi kaukah yang bernama Windu Kusuma?”

“Ya” jawab orang yang berdiri dipintu.

“Kau kenal orang itu?” bertanya Kiai Gumrah.

“Tidak” jawab orang yang masih saja mengunyah daging ayam itu.

“Gila kau” sahut tamu Kiai Gumrah yang lain, “aku kira kau sudah mengenalnya.”

“Aku hanya ingin membuat Kiai Windu Kusuma itu berbangga, seolah-olah namanya membuat kami terkejut.”

Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan Tanpa diduga maka mangkuk-mangkuk serta minuman dan makanan yang ada diambin bambu itu seakan-akan telah disentakkan. Beberapa diantara mangkuk-mangkuk itu terlempar keudara, kemudian terbanting jatuh saling berbenturan. Beberapa diantara mangkuk-mangkuk itu telah pecah.

Manggada dan Laksana menjadi sangat tegang. Jantung mereka terasa berdegup semakin cepat.

Namun, seorang diantara tamu Kiai Gumrah itu justru berkata sambil mengais pecahan mangkuk didepannya, “Kau gila. Sepotong sayap ayam masih utuh.”

Tanpa menghiraukan orang yang menyebut dirinya Kiai Windu Kusuma itu, tamu Kiai Gumrah itu memungut sepotong sayap ayam yang memang masih utuh. Katanya, “Sebenarnya aku ingin mensisakan sayap-sayap ayam ini bagi kedua orang cucu Kiai Gumrah agar mereka dapat terbang seperti ayam.”

“Kau kira ayam dapat terbang?” kawannya masih juga sempat bertanya.

“Cukup” bentak Kiai Windu Kusuma, “kalian menyembunyikan perasaan takut kalian pada kegilaan kalian. Jangan dikira bahwa kami tidak dapat membara isi hati kalian. Orang-orang tua semacam kalian memang tidak berharga. Dengan kepura-puraan itu, kalian mencoba untuk nampak tenang dan meyakinkan.”

Kiai Gumrah lah yang kemudian turun dari amben bambu itu. Dengan nada dalam ia bertanya, “Ki Sanak. Untuk apa sebenarnya Ki Sanak datang tanpa aku undang malam ini? Sebenarnya aku sedang merayakan peringatan tumbuk ageng. Aku hari ini berumur delapan windu.”

Namun kawannya ternyata sulit menjaga mulutnya. Katanya, “Ia bohong. Umurnya lebih tua dari delapan windu. Tetapi ia tetap dianggap paling muda diantara kami berempat. Juga oleh kedua cucunya itu. He, jika umurmu baru enampuluh empat dan kedua cucumu sudah perjaka, berapa tahun kau mempunyai anak dan anakmu pada umur berapa tahun mempunyai anak pula.”

“Kau masih sempat menghitung pada saat kita menghadapi ingkung ayam itu?” bertanya kawannya pula.

“Cukup” teriak Kiai Windu Kusuma, “sekarang sadari keadaan kalian. Kalian akan mati malam ini jika kalian tidak merubah sikap kalian. Atau kalian sudah mulai mabuk?”

“Tidak Kiai Windu Kusuma. Kami tidak mabuk. Tidak ada setitik tuak pun disini meskipun pekerjaan kami menyadap legen dan dapat membuat tuak sendiri. Karena itu, kami tidak sedang mabuk. Mungkin ada satu diantara kami yang kekenyangan. Tetapi itu bukan berarti mabuk.” jawab Kiai Gumrah.

“Hentikan sikap gila kalian. Sekarang, aku akan berbicara tanpa melingkar-lingkar lagi. Serahkan pusaka-pusaka itu. Kau tidak usah bertanya apakah aku pemiliknya atau bukan, atau apakah aku sudah minta ijin atau bukan. Yang penting pusaka-pusaka itu jatuh ditanganku dan aku bawa pergi. Apa yang akan kau katakan terhadap pemiliknya aku tidak peduli. Apakah kau sudah terlanjur berjanji untuk menjaga pusaka-pusaka itu atau belum aku juga tidak perduli.” berkata Kiai Windu Kusuma.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai nampak bersungguh-sungguh. Katanya, “Kiai Windu Kusuma. Aku yakin bahwa kau bukan kanak-kanak lagi. Kau tentu tahu makna dari sikapku dan sikap kawan-kawanku malam ini. Seharusnya kau tidak usah mengatakan maksudmu itu seperti kanak-kanak yang berebut manggis yang jatuh dari dahannya. Sekarang kau mau apa?”

“Bagus” berkata Kiai Windu Kusuma, “tetapi aku masih ingin memperingatkanmu, bahwa kegilaanmu dan kawan-kawanmu tidak berarti apa-apa bagi kami. Aku datang dengan beberapa orang kawan yang benar-benar akan dapat mengantar kalian keneraka malam ini juga.”

“Kami sudah siap Kiai. Elangmu siang tadi telah memberitahukan kepada kami, bahwa kalian akan datang bersama beberapa orang yang berilmu tinggi. Tetapi kau pun harus sudah mengetahui sikap apa yang akan kami ambil menghadapi kedatangan kalian.” jawab Kiai Gumrah.

“Aku menunggumu dihalaman Kiai Gumrah” berkata Kiai Windu Kusuma, “kami tidak dapat bertempur dengan baik diruang yang sempit ini.”

“Baiklah. Tunggulah kami diluar. Sebentar lagi kami berempat akan keluar.” jawab Kiai Gumrah.

Kiai Windu Kusuma kemudian telah melangkah mundur. Bersama dengan beberapa orang yang datang bersamanya, maka mereka menunggu dihalaman rumah itu.

Nampaknya mereka telah benar-benar bersiap menghadapi keempat orang yang ada diruang dalam.

Meksipun demikian seorang diantara mereka berdesis, “Aku tidak mengira bahwa disini ada ampat orang yang harus kita hadapi malam ini.”

“Apa artinya empat orang tua itu? Sedangkan Kiai Gumrah sendiri hanya mampu menakut-nakuti Kundala dan kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang pengecut. Karena itu, aku tidak mau lagi membawanya malam ini karena mereka tidak akan berarti apa-apa.”

“Selain mereka masih ada anak-anak muda yang tadi ada didapur” berkata yang lain.

“Mereka tidak usah dihitung” jawab Kiai Windu Kusuma, “dengan mengibaskan tangan saja mereka tentu akan terbunuh.”

Sementara itu, para tamu Kiai Gumrah sudah melangkah keluar. Sementara itu Kiai Gumrah yang masih ada didalam berbicara sejenak dengan Manggada dan Laksana, “Kalian mau menolong aku lagi bukan, ngger.”

“Tentu Kiai” jawab Manggada.

“Kau tentu menganggap aku sebagai pembohong” desis orang tua itu.

“Kenapa Kiai?” bertanya Manggada.

“Nanti, jika aku masih sempat hidup aku beritahukan” jawab Kiai Gumrah. Lalu katanya kemudian, “tolong ngger. Jaga pusaka-pusaka itu. Mungkin ada satu dua orang yang melepaskan diri dari pertempuran dan berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka itu langsung dari plonconnya.”

“Baik Kiai” jawab Manggada.

“Tetapi jika kalian jumpai orang yang berilmu sangat tinggi dan diluar jangkauan kemampuanmu, maka tinggalkan saja orang itu. Jangan kau korbankan nyawamu untuk sesuatu yang bagimu tidak berarti apa-apa.”

Manggada dan Laksana hampir bersamaan menjawab, “Baiklah Kiai. Kami akan menjaga pusaka-pusaka itu.”

“Terima kasih ngger” Kiai Gumrahpun mengangguk-angguk, “aku akan menemui orang-orang itu. Orang-orang itu memang orang-orang berilmu tinggi. Tetapi aku percaya kepada kawan-kawanku bahwa mereka akan dapat mengimbangi orang-orang yang datang itu. Semoga Yang Maha Agung melindungi kami dan kalian berdua” berkata Kiai Gumrah sambil melangkah keluar.

Di halaman beberapa orang telah mengepung tiga orang kawan Kiai Gumrah. Ketika mereka melihat Kiai Gumrah, maka sebagian dari mereka pun telah menyibak. Sehingga akhirnya Kiai Gumrah berdiri disebelah ketiga orang kawannya.

“Nah” berkata Kiai Windu Kusuma, “jadi kami kau paksa untuk membunuh kalian berempat?”

“Kami atau kalian yang akan mati” berkata Kiai Gumrah, “tetapi sebenarnya bukan kebiasaan kami membunuh seseorang siapapun mereka.”

“Kau tidak usah berpura-pura menjadi orang yang baik hati. Bersiaplah. Kalian akan mati kecuali jika kalian menyerahkan pusaka-pusaka itu.”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apaboleh buat. Pertempuran bukan cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan. Tetapi jika kalian memaksa kami untuk melakukannya, maka kami tidak akan dapat mengelak. Sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan kepala kami kalian pisahkan dari tubuh kami. Tetapi sebaliknya kami juga tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, karena aku tidak berhak melakukannya. Berpuluh kali aku katakan, bahwa aku hanya akan menyerahkan kepada orang-orang yang menitipkannya kepadaku.”

“Alasan yang basi. Aku muak mendengarnya. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Sementara pusaka-pusaka itu akan jatuh juga ketangan kami.”

Kiai Gumrah dan ketiga orang kawannyapun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka berempat menghadap keempat arah, karena Kiai Windu Kusuma dan kawan-kawannya telah mengepung Kiai Gumrah dan kawan-kawannya dari segala arah pula.

Sebelum Kiai Windu Kusuma mulai menyerang. Kiai Gumrah sempat menghitung orang yang datang ke rumahnya itu. Semuanya ada tujuh orang.

“Tujuh” Kiai Gumrah itu berdesis.

“Ya. Tujuh orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Seorang melawan seorang pun kalian tidak akan dapat berbuat sesuatu. Apalagi jumlah kami lebih banyak dari jumlah kalian.” berkata Kiai Windu Kusuma.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada satu hal yang tidak kau perhitungkan.”

“Apa? Aku tahu pasti tingkat kemampuanmu Kiai Gumrah. Kundala memberikan laporan terperinci.” Jawab Kiai Windu Kusuma dengan penuh keyakinan.

Tetapi Kiai Gumrah menjawab, “Satu hal yang tidak kau perhitungkan. Justru yang menentukan. Bahwa Yang Maha Agung dapat berbuat apa saja yang tidak mungkin sekalipun.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Itu adalah tumpuan orang yang sudah berputus-asa. Orang yang tidak mampu keluar dari keruwetan dan kesulitan atas usaha dan kepercayaannya kepada diri sendiri. Lalu mencari sandaran apapun yang paling tidak masuk akal sekalipun.”

“Terkutuklah kalian yang tidak meyakini kuasa Yang Maha Agung. Baiklah. Marilah kita lihat. Betapa maha dahsyatnya kuasa Yang Maha Agung itu.”

Kiai Windu Kusuma masih tertawa. Namun kemudian ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata, “He, kita buktikan kepada mereka, bahwa mereka tidak akan dapat bersandar kepada tumpuannya yang disebutnya Yang Maha Agung. Kuasa dari Telenging Bumi serta Roh dan Arwah orang-orang sakti dari Padepokan kami akan menunjukkan kepada kalian, bahwa sandaran kalian telah lapuk.”

Wajah Kiai Gumrah menjadi merah. Ia tidak pernah menjadi demikian marahnya seperti saat ini. Tetapi bagaimanapun juga ia masih tetap mengekang diri dan berpijak pada penalarannya yang terang. Kepada ketiga orang kawannya ia berkata, “Marilah saudara-saudaraku. Kita berhadapan dengan bayangan dari Kuasa Kegelapan dan Iblis. Kita akan berusaha menerangi bayangan kelam itu dengan cahaya daripada-Nya. Tetapi jika yang harus terjadi justru permusuhan Kuasa Iblis itu, maka agaknya demikianlah yang harus terjadi. Mereka agaknya mengira bahwa kekuatan Terang dari yang Maha Agung itu tidak masuk dalam akal mereka, tetapi mereka justru beralaskan Kuasa Iblis yang menurut mereka masuk akal.”

“Tentu, karena kami dapat berhubungan langsung dalam sentuhan indera wadag kami. Tetapi apa yang kau sebut Yang Maha Agung itu sama sekali tidak.”

“Kami tidak memerlukan sentuhan indera wadag. Tetapi rabaan jari-jari hati kami dapat menyentuhnya pula.”

Tetapi Kiai Windu Kusuma itu tertawa. Katanya, “Satu ceritera yang baik untuk dilaporkan kepada Panembahan.”

“Panembahan siapa?” bertanya Kiai Gumrah.

“Panembahan siapapun, kau tidak akan mengerti” jawab Kiai Windu Kusuma.

Kiai Gumrah tidak menjawab lagi. Tetapi berempat mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu Kiai Windu Kusumapun telah memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk bergerak.

Dalam pada itu, Kiai Gumrah telah bersiap langsung menghadapi Kiai Windu Kusuma. Sementara ketiga orang kawannya harus berhadapan dengan enam orang pengikut Windu Kusuma itu.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah terjadi. Kiai Windu Kusuma langsung menyerang Kiai Gumrah dengan garangnya meskipun belum mempergunakan senjatanya.

Sementara itu, para pengikutnya pun telah mulai bertempur pula. Mereka bertempur berpasangan melawan tiga orang kawan Kiai Gumrah.

Namun dalam pada itu terdengar perintah Kiai Windu Kusuma kepada para pengikutnya, “Salah seorang dari kalian, ambil pusaka-pusaka itu. Hati-hati. Ada dua orang anak muda yang tadi didapur. Jika keduanya menghalangi, bunuh mereka. Kita sudah tahu tataran kemampuan kedua orang anak muda itu sebagaimana laporan yang pernah disampaikan kepada kita.”

Ketika salah seorang dari mereka mulai melangkah keluar dari lingkaran pertempuran, Kiai Windu Kusuma itu berkata, “Biarlah Niskara saja melakukannya. Ia tidak akan pernah gagal. Apalagi hanya kedua orang anak muda itu. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan Kundala. Bahkan seandainya ada dua orang lagi. Niskara akan dapat menyelesaikannya dengan cepat.”

Tidak ada yang menjawab. Namun seorang diantara mereka yang masih bertempur itu melenting dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, orang itu bagaikan terbang menuju kepintu rumah dan kemudian hilang di ruang dalam.

Kiai Gumrah memang menjadi berdebar-debar. Ia yakin bahwa kedua orang anak muda itu tidak akan mampu melawan orang yang disebut bernama Niskara itu.

Tetapi ia tidak segera dapat berbuat sesuatu. Ia harus berhadapan dengan Kiai Windu Kusuma yang tentu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Karena itu, maka bagaimanapun juga Kiai Gumrah itu menjadi gelisah. Kedua anak muda itu seharusnya tidak terlibat dalam persoalan yang rumit itu. Tetapi keduanya ternyata berkeras untuk tetap berada dirumahnya.

“Mudah-mudahan mereka mau mendengarkan pesanku agar mereka tidak mempertahankan nyawa mereka” berkata Kiai Gumrah didalam hatinya. Kiai Gumrah masih berharap jika keduanya itu menyingkir dari pertempuran, maka Niskara tentu akan lebih memperhatikan pusaka-pusaka itu daripada Manggada dan Laksana.

Tetapi bagaimanapun juga Kiai Gumrah tidak dapat membiarkan keduanya tanpa memperhatikannya. Namun Kiai Gumrah tidak mempunyai banyak kesempatan, karena Kiai Windu Kusuma itu mulai menekannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras.

Sementara itu, ketiga orang kawannya pun telah bertempur pula. Dua orang diantara mereka harus bertempur melawan masing-masing dua orang.

Didalam rumah, Manggada dan Laksana mendengar langkah seseorang memasuki rumah itu. Dengan cepat mereka pun telah bersiap. Merekapun menyadari, bahwa orang-orang yang ingin mengambil pusaka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Namun kedua orang anak muda itu sudah berjanji untuk membantu Kiai Gumrah menjaga pusaka-pusaka itu. Apapun yang terjadi, maka mereka tidak akan ingkar.

Karena itu ketika orang itu mendekati bilik tempat pusaka-pusaka itu disimpan, maka Manggada dan Laksana segera menghadang mereka dengan pedang terhunus.

Niskara itu menggeram. Dengan lantang ia berkata, “Minggir anak-anak muda. Aku akan mengambil pusaka-pusaka itu. Jika kau mencoba menghalangi, maka kalian akan mati malam ini juga. Aku tidak mempunyai waktu banyak, sehingga karena itu, maka jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat memperpendek umurmu.”

“Aku telah berjanji untuk mempertahankan pusaka-pusaka ini.” jawab Manggada.

“Jika demikian, jangan menyesal jika kalian akan mati.” geram Niskara.

Manggada dan Laksana tidak menghiraukannya. Keduanya hampir berbareng meloncat menyerang.

Ternyata Niskara memang seorang yang berilmu tinggi. Dengan cepat ia menggeliat menghindari serangan kedua orang anak muda itu. Bahkan tanpa diketahui apa yang telah dilakukannya, maka Laksana telah terdorong beberapa langkah surut sehingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya terasa menjadi panas. Agaknya tangan Niskara telah menampar mukanya.

Tetapi Laksana sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia menguasai dirinya dan siap untuk melanjutkan pertempuran. Pedangnya pun berputar cepat saat ia meloncat maju sementara Manggada telah menyerang pula dari arah yang berbeda.

Tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan kedua orang anak muda itu telah mengalami serangan yang tidak mereka ketahui bagaimana hal itu dapat terjadi. Keduanya pun telah terdorong beberapa langkah surut.

Sementara itu Niskara pun menggeram. Katanya, “Anak-anak muda, sebaiknya kau dengarkan peringatanku. Kali ini untuk yang terakhir. Minggirlah. Jangan ganggu aku. Jika kalian masih saja menghalangi aku, maka kalian benar-benar akan mati.”

Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan pernah dapat mengalahkan orang itu, apalagi jika ia sudah menarik senjatanya. Mereka pun teringat pesan Kiai Gumrah agar jika terpaksa mereka supaya meninggalkan saja pusaka-pusaka itu. Mereka tidak usah mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan pusaka-pusaka itu.

Namun ternyata bahwa hati kedua orang anak muda tidak terlalu lentur. Bahkan Manggada telah melangkah maju sambil berkata, “Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami harus mempertahankan pusaka-pusaka itu.”

Niskara menggeram. Katanya, “Jika demikian maka kalian agaknya memang ingin membunuh diri. Baiklah. Aku akan membantu kalian agar kalian lebih cepat mati dan tidak mengganggu aku lagi.”

Dalam pada itu, di halaman Kiai Gumrah tengah bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Bagaimanapun juga ia gelisah karena Manggada dan Laksana, juga karena pusaka-pusaka itu akan dapat diambil oleh Niskara, namun ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang memang berilmu tinggi. Bahkan untuk beberapa saat Kiai Windu Kusuma dapat mendesak Kiai Gumrah yang gelisah.

Bagi Kiai Gumrah, seandainya Niskara dapat mengambil pusaka-pusakanya, maka ia akan dapat berusaha menahan Kiai Windu Kusuma dalam pertempuran dengan mempertaruhkan nyawanya. Karena Kiai Windu Kusuma adalah pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu, maka seandainya ia dapat mengatasinya, maka Niskara tentu tidak akan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah itu.

Namun agaknya Manggada dan Laksana justru lebih menggelisahkannya lagi. Kedua anak muda yang keras hati tu tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-pusaka itu meskipun ia sudah berpesan kepada mereka.

Bagi Kiai Gumrah yang sudah berjanji untuk menyimpan dan menjaga pusaka-pusaka itu ternyata tidak dapat begitu saja membiarkan Manggada dan Laksana menjadi korban. Kecuali mereka masih terlalu muda untuk mati, maka mereka pun sebenarnya tidak mempunyai beban tanggung jawab apapun terhadap pusaka itu, kecuali karena mereka memang berniat membantunya.

Tetapi untuk sementara Kiai Gumrah harus menghadapi kenyataan. Ia harus bertempur melawan Kiai Windu Kusuma tanpa berbuat apapun yang lain. Ia sadar, jika ia tidak mampu memusatkan nalar budinya untuk menghadapi Kiai Windu Kusuma, maka ia akan segera mengalami kesulitan karena Kiai Windu Kusuma adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

Sementara itu ketiga orang kawan Kiai Gumrah pun harus bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka. Dua diantara kawan-kawan Kiai Gumrah itu harus menghadapi masing-masing dua orang. Namun agaknya mereka bukan orang-orang berilmu sangat tinggi setataran dengan Kiai Windu Kusuma sendiri. Meskipun mereka agaknya memiliki kemampuan lebih baik dari Kundala dan kawannya yang pernah datang pula kerumah itu, namun mereka tidak dapat dengan cepat menguasai kawan-kawan Kiai Gumrah.

Meskipun sejak Kundala gagal mengambil pusaka-pusaka itu. Kiai Windu Kusuma sudah memperhitungkan bahwa Kiai Gumrah yang ternyata bukan orang kebanyakan itu tentu tidak sendiri, bahkan selain anak-anak muda itu tentu ada orang-orang lain yang berilmu, namun ia tidak mengira bahwa pada saat yang bersamaan ada empat orang tua yang berilmu tinggi. Ampat orang yang ilmunya tidak saling bertaut banyak meskipun Kiai Gumrah harus mendapat perhatian terbesar karena Kiai Gumrah adalah orang yang harus mempertanggungjawabkan pusaka-pusaka itu.

Sambil bertempur melawan Kiai Gumrah, Kiai Windu Kusuma sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi disekitarnya. Dibawah cahaya oncor diserambi rumah Kiai Gumrah yang lemah, ia melihat kawan-kawannya berusaha untuk dengan segera mengalahkan ketiga orang tua tamu Kiai Gumrah itu. Tetapi ketiga orang tua itu ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi.

Seorang diantaranya, yang disebut juragan yang menerima dan membeli gula kelapa Kiai Gumrah dan para pembuat gula yang lain dan membawanya ke pasar itu, bertempur hanya melawan seorang saja. Tetapi orang itu adalah seorang yang masih terhitung muda, bertubuh tegap dan kekar. Putut Sempada.

Dengan keras orang itu menyerang juragan Kiai Gumrah sehingga orang tua itu beberapa kali terdesak mundur.

“Apakah kau tidak mempertimbangkan untuk menyerah saja orang tua? Tulang-tulangmu sudah rapuh dan barangkali penglihatanmu sudah tidak jelas lagi.” Berkata orang bertubuh kekar itu.

Tetapi orang tua itu tersenyum. Sambil mengelakkan serangan lawannya yang bertubuh tegap dan kekar itu ia menjawab, “Aku jauh lebih tua dari kau orang muda. Aku tentu mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak. Karena itu, berhati-hatilah. Apalagi bukankah seharusnya kau menghormati setua aku ini.”

“Setan kau kakek tua. Agaknya kau ingin mempercepat kematianmu. Tetapi katakan, siapa namamu?”

“Aku adalah juragan gula kelapa yang dihormati di seluruh lingkungan ini. Kalau kau tidak percaya bertanyalah kepada Kiai Gumrah. Ia salah seorang pembuat gula yang selalu menyerahkan gulanya kepadaku. Aku tidak pernah menghutang dan kemudian baru membayar setelah gula itu laku. Aku selalu membayar langsung demikian mereka menyerahkan gula itu kepadaku.”

“Cukup” orang yang bertubuh tegap kekar itu berteriak, “aku tidak ingin mendengar bualanmu itu. Siapa namamu, he. Itu saja yang ingin aku dengar.”

Juragan gula itu tertawa. Katanya sambil setiap kali meloncat mengambil jarak, “Namaku Ki Padma.”

“Uah” desah orang bertubuh kekar itu diluar sadarnya.

Sejenak kemudian, maka serangannya pun datang beruntun. Juragan gula yang menyebut dirinya Ki Padma itu masih saja berloncatan menghindari serangan-serangan itu.

Katanya, “Kenapa? Kau heran mendengar namaku? Padma adalah bunga. Sama manisnya dengan gula. Kau setuju?”

“Setan tua. Kau tidak pantas dengan nama itu. Pantasnya kau bernama Clurut.” geram lawannya.

Ki Padma itu tertawa berkepanjangan sambil berloncatan. Tetapi justru karena itu, maka ia pun telah terdesak beberapa langkah surut. Namun kemudian sambil berganti menyerang ia bertanya, “Siapa namamu?”

“Kau tentu juga tidak percaya.” jawab lawannya.

“Aku percaya. Katakanlah”sahut Ki Padma.

“Namaku Putut Sempada.” jawab orang itu. ”Nah, kau tentu akan menyangkal dan akan menyebut nama lain yang paling buruk.”

“Tidak. Aku percaya bahwa kau bernama Sempada, meskipun itu bukan nama yang kau terima dari kedua orang tuamu. Namun bagaimanapun juga, sekarang kau disebut Putut Sempada.” jawab Ki Padma.

“Atau kau memang pernah mendengar nama itu?” bertanya Putut Sempada.

“Ya. Aku memang pernah mendengar nama itu. Aku juga pernah mendengar nama Putut Bahudenda dan Bahutama. Mereka memiliki ciri perguruan Panjer Bumi. Nah, jangan menyangkal bahwa aku melihat ciri perguruan itu pada unsur-unsur gerakmu.”

“Aku tidak menyangkal bahwa aku murid perguruan Panjer Bumi. Jilka kau tahu aku dari perguruan Panjer Bumi, katakan, kau bersumber dari perguruan mana?” bertanya Bahusasra.

“Ternyata pengetahuanmu sangat picik. Putut Sempada adalah nama yang agung. Aku tidak ingin meniru kau yang merendahkan pribadiku dibandingkan dengan namaku. Tetapi sebenarnyalah bahwa nama itu terlalu besar buat orang sepicik kau. Kita sudah bergulat dalam pertarungan ilmu sekian jauh, tetapi kau sama sekali tidak mampu menyebut sumber ilmuku.”

“Kau tentu lahir dari perguruan kecil di tempat terpencil. Kau dapat melihat kebesaran perguruanku tetapi aku tidak.” geram orang yang mengaku bernama Putut Sempada itu.

Ki Padma tertawa. Katanya, “Apapun yang kau katakan, tetapi kita akan menyelesaikan pertempuran ini sampai tuntas. Betapa besarnya perguruanmu, tetapi kau nanti harus mengakui, bahwa kuasa Yang Maha Agung akan menentukan segala-galanya. Bukan kuasa dari Telenging Bumi atau iblis yang manapun juga. Semakin kau mengingkari, maka kau akan menjadi semakin dihimpit oleh kuasa-Nya.”

“Kau ingin melarikan diri kenyataan seperti Kiai Gumrah.” geram Bahusasra.

“Sama sekali tidak. Tetapi hatiku sejalan dengan orang itu.” jawab Ki Padma.

Lawannya tidak menjawab lagi. Tetapi dikerahkannya kemampuan untuk menghancurkan orang yang menyebut dirinya Ki Padma, juragan gula kelapa itu.

Namun ternyata bahwa Ki Padma benar-benar orang yang berilmu tinggi. Meskipun Sempada tidak segera melihat sumber ilmu juragan gula itu, tetapi ia merasakan kekuatan yang sangat besar pada ilmu yang melandasi kemampuannya itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit sebagaimana Kiai Gumrah melawan Kiai Windu Kusuma yang juga berilmu sangat tinggi.

Sementara itu kedua kawan Kiai Gumrah yang lain masing-masing harus bertempur melawan dua orang. Namun lawan-lawan mereka ilmunya tidak setinggi Kiai Windu Kusuma atau Putut Sempada. Meskipun demikian melawan dua orang, kawan-kawan Kiai Gumrah itu pun harus mengerahkan kemampuan mereka. Bahkan baik Kiai Gumrah maupun ketiga orang kawannya, masih harus selalu mengingat kedua orang anak muda yang berada didalam rumah. Mereka sadar, bahwa orang yang bernama Niskara itu tentu saja seorang yang dianggap akan mampu menyelesaikan kedua orang anak muda itu juga mereka bertahan untuk melindungi pusaka-pusaka itu. Kawan-kawan Kiai Gumrah itu sebenarnya sudah mendengar bagaimana kekerasan hati kedua anak muda yang terdampar dirumahnya. Meskipun keduanya tidak mempunyai sangkut paut dengan Kiai Gumrah, apalagi pusaka-pusaka itu, namun keduanya telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantunya.

Karena itu, baik Kiai Gumrah maupun ketiga orang kawannya tentu tidak akan sampai hati membiarkan kedua orang anak muda itu mengalami kesulitan.

Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menolong mereka karena mereka sedang terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Namun setelah menjajagi ilmunya beberapa saat, salah seorang kawan Kiai Gumrah yang bertempur melawan dua orang lawan itu berkata lantang, “He, aku akan meninggalkan orang-orang itu. Biarlah keduanya menempatkan diri untuk melawan salah seorang dari kalian. Aku akan melihat apa yang terjadi didalam.”

“Lakukanlah” sahut Kiai Gumrah sambil bertempur melawan Kiai Windu Kusuma. Meskipun Kiai Windu Kusuma berilmu sangat tinggi, jika kedua orang itu bergabung bersamanya, maka Kiai Gumrah masih berharap untuk dapat bertahan beberapa lama meskipun ia harus berlari-lari berputaran di halaman. Sementara itu, ia berharap bahwa kawannya itu akan dapat segera menyelesaikan orang yang disebut Niskara itu.

Namun dalam pada itu, kawan Kiai Gumrah yang akan meninggalkan kedua lawannya itu justru tertegun. Karena kedua lawannya masih saja menyerangnya dan seakan-akan tidak ingin melepaskannya, maka kawan Kiai Gumrah itu masih harus berloncatan menghindar. Bahkan kedua orang lawannya itu dengan sengaja menahan agar orang itu tidak dapat meninggalkan mereka.

Sementara keempat orang tua-tua itu masih bertempur dengan sengitnya, maka didalam rumah itu, Manggada dan Laksana benar-benar tidak mampu berbuat banyak menghadapi Niskara. Meskipun Niskara itu masih belum mempergunakan senjatanya, namun Manggada dan Laksana berkali-kali terdorong dan terbanting jatuh. Bahkan kemudian keduanya menjadi semakin tidak berdaya. Ketika kepala Laksana membentur tiang, maka seisi rumah itu rasa-rasanya menjadi berputar. Hanya karena ketahanannya saja, ia masih tetap sadar. Meskipun demikian ketika ia berusaha untuk bangkit, ia justru terhuyung-huyung kehilangan keseimbangannya. Meskipun Laksana mencoba berpegangan tiang, tetapi ia pun jatuh terduduk. Pedangnya telah terlepas dari tangannya, sementara nafasnya menjadi sesak.

Sementara itu Manggada pun tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dengan kerasnya Manggada terlempar ketika kaki Niskara itu mengenai pundaknya. Demikian kerasnya sehingga Manggada membentur dinding dan bahkan dinding itu telah terkoyak. Manggada yang terlempar itu terjatuh keluar rumah. Tetapi tidak di halaman depan.

Manggada berguling beberapa kali di halaman sam ping. Kepalanya yang membentur dinding sehingga koyak itu menjadi pening. Matanya berkunang-kunang dan kemudian menjadi gelap.

Hampir bersamaan kedua orang anak muda itu menjadi pingsan.

Sementara itu pertempuran di halaman masih berlangsung dengan sengitnya. Kiai Gumrah dengan ketiga orang kawannya yang gelisah itu telah meningkatkan kemampuan mereka. Namun lawan-lawan mereka pun berbuat serupa pula, sehingga karena itu, maka pertempuran itu benar-benar menjadi pertempuran yang seru diantara orang-orang berilmu tinggi.

Kiai Windu Kusuma yang berhadapan dengan Kiai Gumrah, ternyata juga menjadi gelisah. Ia berharap agar Niskara dapat menguasai pusaka-pusaka itu dengan cepat. Namun ternyata Niskara masih juga belum keluar dari rumah itu dengan membawa pusaka-pusaka yang diinginkannya.

Justru karena itu, maka dua orang berilmu tinggi itu bertempur dalam kegelisahan mereka masing-masing. Kiai Gumrah gelisah karena Manggada dan Laksana yang keras hati, keduanya tentu tidak akan begitu saja meninggalkan pusaka-pusaka itu meskipun lawannya dapat mengancam jiwanya. Sementara itu, kawan-kawannya dan bahkan dirinya sendiri tentu tidak akan dapat dengan mudah meninggalkan lawan-lawannya.

Sedangkan Kiai Windu Kusuma menjadi gelisah karena Niskara tidak segera keluar dari rumah dengan membawa pusaka-pusaka yang mereka kehendaki. Menurut perhitungan Kiai Windu Kusuma. Niskara akan dapat dengan mudah menyelesaikan kedua orang anak muda yang ada didalam yang kemampuannya masih sangat dasar sebagaimana dilaporkan oleh dua orang yang telah datang lebih dahulu kerumah itu.

Kiai Windu Kusuma untuk sementara masih menahan diri. Ia mencoba untuk mengerahkan kemampuannya serta memusatkan nalar budinya menghadapi Kiai Gumrah. Tetapi kegelisahannya itu seakan-akan tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka ia pun berteriak, “He, lihat, apakah Niskara justru tidur didalam atau ia telah berkhianat dan membawa pusaka-pusaka itu pergi melalui pintu butulan.”

Untuk sesaat masih belum ada yang meninggalkan arena pertempuran itu. Dua orang kawan Kiai Gumrah yang masing-masing harus menghadapi dua orang sekaligus telah mengerahkan ilmunya. Mereka mencoba untuk menahan salah seorang dari lawannya yang akan meninggalkan arena. Tetapi karena lawannya juga menghentakkan kemampuan mereka, maka kedua orang kawan Kiai Gumrah itu justru terdesak surut.

Justru pada saat itu seorang dari mereka telah meloncat meninggalkan salah seorang kawan Kiai Gumrah itu dan berlari kepintu rumah Kiai Gumrah. Sementara itu seorang kawannya harus bertempur seorang melawan seorang dengan kawan Kiai Gumrah itu. Orang itu memang segera terdesak. Tetapi ia masih mempunyai beberapa cara untuk mempertahankan hidupnya. Halaman rumah Kiai Gumrah ternyata cukup luas untuk menghindar disaat-saat yang sulit. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan dapat dipergunakan untuk sekedar menyelamatkan diri pada saatsaat yang paling gawat.

Demikianlah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang memasuki rumah Kiai Gumrah itupun langsung menuju ke ruang dalam. Dilihatnya seorang anak muda yang pingsan terbaring dilantai. Kemudian dilihatnya pula dinding bambu yang koyak. Demikian ia melihat keluar lewat lubang dinding itu, dilihatnya seorang anak muda yang lain telah terbaring pula.

Namun orang itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat Niskara juga terbaring diluar rumah tidak terlalu jauh dari anak muda yang juga terbaring diluar itu.

Dengan cepat ia merunduk lewat lubang dinding itu keluar. Ketika ia berjongkok disebelah Niskara, maka dilihatnya tubuh itu terkoyak mengerikan. Luka-luka yang parah terdapat hampir diseluruh tubuhnya.

“Siapa yang telah memperlakukan Niskara seperti ini?” pertanyaan itu pun telah bergejolak didalam hatinya. Tetapi orang itu pun harus menjadi sangat berhati-hati. Niskara memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Tetapi ia gagal mempertahankan hidupnya. Justru dengan luka yang sangat parah.

Tetapi kawan Niskara itu tidak yakin bahwa luka-luka itu adalah luka-luka senjata. Luka-luka itu menurut pengamatannya seakan-akan luka oleh kuku-kuku dan taring binatang buas.

“Tetapi dimana ada binatang buas disini?” orang itu bertanya didalam hatinya.

Karena itulah, maka orang itu pun segera mengambil keputusan untuk mengambil pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah. Dengan senjata teracu ia kemudian meninggalkan Niskara dengan sangat berhati-hati. Karena Niskara telah mati, maka ia tidak akan berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya. Apalagi kedua orang anak muda itu mungkin pingsan. Jika mereka sadar, maka ia harus bertempur lagi melawan keduanya.

Karena itu, maka kawan Niskara itu pun segera menyuruk kembali masuk kedalam rumah. Perlahan-lahan ia melangkah ke bilik tempat pusaka-pusaka itu mungkin disimpan.

Ketika angin bertiup menyingkap tirai dipintu bilik sebelah, maka nampak sebuah ploncon dengan pusaka-pusaka yang tentu pusaka yang dicarinya. Dalam keremangan lampu yang redup, orang itu melihat beberapa batang tombak dan songsong berdiri tegak pada ploncon itu.

Orang itu tidak berpikir panjang. Dengan serta-merta orang itu meloncat masuk kedalam bilik yang redup itu.

Tetapi orang itu terkejut bukan buatan. Demikian ia berdiri didalam bilik itu, maka dilihatnya dua ekor harimau menggeram siap untuk menerkamnya.

Dengan cepat orang itu meloncat mundur. Namun kedua ekor harimau itu telah mengikutinya, keluar dari bilik itu.

Orang itu bukan seorang penakut. Seandainya ia harus berkelahi melawan seekor dari kedua harimau yang besar itu, ia tidak akan gentar. Tetapi melawan dua ekor harimau yang besar dan garang itu, maka nasibnya tentu tidak akan lebih baik dari Niskara yang telah terbunuh itu.

Dalam waktu yang pendek itu otaknya bekerja dengan cepat. Ia akan memancing harimau itu keluar rumah dan membawanya ke halaman. Jika harimau itu berada dihalaman, maka harimau itu tentu tidak akan dapat memilih siapakah yang akan dilawannya.

Meskipun demikian sekilas timbul keheranan didalam hatinya, bahwa kedua ekor harimau itu tidak berbuat apa-apa terhadap kedua orang anak muda yang pingsan itu.

Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Dengan cepat ia meloncat keluar pintu rumah dan berlari ke halaman.

“Kenapa kau berlari-lari he?” Kiai Windu Kusuma berteriak, “Dimana Niskara?”

Orang itu berhenti sejenak. Ternyata kedua ekor harimau itu tidak mengejarnya. Satu pun diantara keduanya tidak ada yang nampak keluar pintu depan rumah itu.

“He, dimana Niskara?” sekali lagi Kiai Windu Kusuma yang masih bertempur melawan Kiai Gumrah itu berteriak.

Terdengar Kiai Gumrah tertawa. Ia memanfaatkan keadaan itu untuk mempengaruhi lawannya. Katanya, “Nah, ternyata Niskara tidak dapat mengalahkan kedua orang cucuku itu.”

“Tidak” teriak orang itu yang masih berdiri termangu-mangu beberapa langkah didepan pintu., “Kedua anak muda itu terbaring diam di rumah itu. Mungkin ia pingsan atau mati atau pingsan sampai mati.”

“Jika demikian kenapa kau berlari-lari keluar?” bertanya Kiai Gumrah.

“Ternyata didalam rumah terdapat harimau jadi-jadian. Atau pusaka-pusaka itu dapat berwujud harimau. Ada dua ekor harimau di bilik penyimpanan pusaka itu.” Teriak orang itu dengan suara bergetar. Masih terasa betapa jantungnya menjadi ngeri melihat kedua ekor harimau itu.

Yang mendengarkan teriakan orang itu menjadi terkejut karenanya. Bahkan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya pun terkejut pula. Kiai Gumrah yang tinggal dirumah itu tidak pernah melihat ada seekor harimau. Apalagi didalam rumahnya. Ia juga tidak percaya bahwa pusaka-pusaka itu dapat berubah menjadi harimau atau dari dalamnya keluar seekor harimau atau bahkan lebih.

Namun dalam pada itu, pertempuran itu masih berlangsung. Seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang harus bertempur menghadapi seorang kawan Kiai Gumrah telah mengalami kesulitan. Sejak kawannya meninggalkannya masuk mencari Niskara, maka ia lebih banyak berlari-lari menghindar. Kadang-kadang bahkan ia harus berputar-putar mengelilingi pohon-pohon besar dan perdu untuk menyelamatkan diri.

Karena kawannya yang berlari keluar dari rumah itu masih saja termangu-mangu, sementara kulitnya telah mulai tergores ujung senjata lawannya, maka ia segera berteriak, “He, jangan tidur disitu. Kau menunggu jantungku koyak?”

Orang itupun segera menyadarinya. Karena itu, maka ia pun segera berlari menggabungkan diri dengan kawannya yang ditinggalkannya.

Namun keadaan keselamatan pertempuran itu sudah berubah. Kawan-kawan Kiai Gumrah sudah mulai menekan lawan-lawannya. Bahkan yang melawan kedua orang pengikut Kiai Windu Kusuma itu pun telah berhasil menekan lawannya. Meskipun lawannya bertempur berpasangan, namun kemampuannya memang masih belum setingkat dengan Niskara yang terbunuh itu.

Ternyata Kiai Windu Kusuma mulai mempertimbangkan keadaan. Ia sendiri merasa tidak akan dapat mengatasi Kiai Gumrah. Bahkan semakin lama maka tekanan Kiai Gumrah itupun terasa menjadi semakin berat. Apalagi dengan ceritera tentang kedua ekor harimau itu.

“Jika harimau itu mampu memilih lawan, maka persoalannya akan menjadi lain” berkata Kiai Windu Kusuma didalam hatinya.

Meskipun demikian untuk beberapa saat ia masih mencoba untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi Kiai Gumrah pun telah sampai ketataran yang lebih tinggi pula. Bagaimanapun juga, maka Kiai Windu Kusuma tidak akan dapat mengalahkan lawannya. Kecuali jika ia mencoba untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Meskipun demikian maka Kiai Windu Kusuma itupun yakin bahwa Kiai Gumrah pun tentu memiliki ilmu simpanannya.

Ternyata kehadirannya di rumah itu telah disambut oleh kekuatan diluar perhitungannya. Meskipun ia memang menduga bahwa Kiai Gumrah tidak sendiri, tetapi ia tidak mengira bahwa ada empat orang berilmu tinggi dirumah itu selain kedua orang cucu Kiai Gumrah.

Memang timbul niat Kiai Windu Kusuma untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan tuntas. Ia sudah siap mempertaruhkan hidup dan matinya untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu. Namun ketika dalam kegelapan malam dihalaman samping ia sempat melihat dua pasang sinar yang kehijau-hijauan, maka Kiai Windu Kusuma memang harus berpikir ulang. Kiai Windu Kusuma sadar, bahwa sinar kehijauan yang dua pasang memancar dalam kegelapan itu tentu mata dua ekor harimau sebagaimana dikatakan oleh salah seorang pengikutnya itu.

Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma harus membuat perhitungan yang cermat.

Sementara itu Putut Sempada yang bertempur melawan kawan Kiai Gumrah yang disebut juragan gula itu pun berkata, “Jadi kalian menyimpan harimau jadi-jadian dirumah ini? Harimau seperti itu memang berarti untuk satu saat. Tetapi pada kesempatan lain, setelah kami tahu bahwa disini ada harimau jadi-jadian, maka kalian tidak akan sempat berbuat sesuatu lagi.”

Juragan gula itu tidak menjawab. Ia memang ikut bingung menanggapi persoalan harimau yang ada dirumah itu. Ia pun melihat bulatan-bulatan cahaya kehijauan di kegelapan. Juragan gula itu juga mengira bahwa yang bercahaya itu bukan sekedar mata kucing. Tetapi tentu mata harimau.

“Kiai Gumrah belum pernah berceritera tentang harimau itu” berkata juragan gula itu didalam hatinya.

Bahkan Kiai Gumrah sendiri menjadi gelisah melihat dua pasang mata harimau dihalaman samping rumahnya. Ia sendiri tidak tahu sama sekali tentang harimau-harimau itu. Bahkan Kiai Gumrah juga memikirkan kemungkinan buruk atas Manggada dan Laksana yang mungkin pingsan. Jika mereka masih mempunyai kesempatan hidup, maka harimau-harimau itu akan dapat mengoyakkan tubuhnya.

Ternyata kebingungan itu membuat mereka yang sedang bertempur itu tidak lagi memusatkan perhatian mereka. Kiai Windu Kusuma, Putut Sempada, para pengikut Kiai Windu Kusuma yang lain menganggap bahwa harimau-harimau itu adalah semacam harimau jadi-jadian yang dapat membantu Kiai Gumrah. Jika demikian maka keadaan mereka benar-benar akan menjadi semakin sulit. Tanpa harimau-harimau itu mereka merasa bahwa tidak mudah menundukkan orang-orang tua itu. Apalagi dengan harimau jadi-jadian.

Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma itu tiba-tiba saja berkata lantang, “He, Kiai Gumrah. Itukah yang kau sebut pertolongan dari Yang Maha Agung? Ternyata kau pun bertumpu pada kekuatan iblis. He, apakah harimau jadi-jadian bukan salah satu ujud kekuatan hitam?”

Kiai Gumrah tidak mau menerima tuduhan itu. Katanya, “Aku tidak pernah berhubungan dengan iblis.”

“Jadi, apa artinya harimau-harimau itu? Seandainya pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau, itukah yang kau maksudkan?”

“Tidak.” jawab Kiai Gumrah, “tetapi jika harimau-harimau itu datang dari hutan karena kebingungan dan disini mereka menemukan Niskara dan membunuhnya, itu harus kau renungkan.”

“Omong kosong.” Geram Kiai Windu Kusuma, “tetapi baiklah. Pada kesempatan lain, aku akan datang dan siap melawan harimau jadi-jadianmu. Kau akan menyesal bahwa kau ternyata tidak jujur dan licik.”

Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun kemudian terdengar isyarat dari Kiai Windu Kusuma. Isyarat agar para pengikutnya mengundurkan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah.

Sambil bergeser keregol halaman, Kiai Windu Kusuma dan para pengikutnya berusaha untuk dapat melepaskan diri dari keempat orang tua yang mempertahankan pusaka-pusaka itu. Sementara Kiai Gumrah dan kawan-kawannya masih saja memikirkan nasib Manggada dan Laksana. Karena itu, ketika kemudian Kiai Windu Kusuma meloncat meninggalkan halaman itu. Kiai Gumrah tidak mengejarnya. Bahkan ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri dari halaman rumahnya. Ada yang meloncat keluar dari regol, tetapi ada pula yang memanjat dinding halaman yang memang tidak terlalu tinggi.

Demikian orang-orang itu pergi, maka tanpa berjanji Kiai Gumrah dan kawan-kawannya telah berlari kepintu rumah. Namun Kiai Gumrah dan kawan-kawannya tidak meninggalkan kewaspadaan. Harimau yang semula ada dihalaman, namun kemudian sinar mata itu bagaikan padam, justru mungkin telah ada didalam rumah itu kembali. Mungkin harimau-harimau itu siap untuk menerkam mereka berempat demikian mereka masuk.

Tetapi keempat orang itu tidak melihat sesuatu. Mereka tidak melihat harimau. Yang mereka temukan adalah Laksana yang telah mulai sadar kembali.

“Anak itu pingsan” desis Kiai Gumrah.

Sambil berjongkok disisi Laksana Kiai Gumrah bertanya, “Dimana Manggada?”

Laksana termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi.

“Aku masih melihat ia bertahan” desis Laksana. Tiba-tiba saja mereka mendengar seorang diantara kawan Kiai Gumrah itu berkata, “Ia ada disini.”

Merekapun dengan tergesa-gesa telah berlari ke arah suara itu, menyusup dinding yang terkoyak dan sebenarnyalah mereka menemukan Manggada yang juga sudah mulai sadar.

Laksana yang baru sadar itu pun telah ikut pula berlari. Ia menarik nafas panjang ketika ia melihat Manggada pun telah duduk pula.

Tetapi mereka terkejut pula ketika mereka melihat tubuh seseorang terbaring tidak jauh dari Manggada.

“Itulah orang yang disebut Niskara” desis Kiai Gumrah.

“Ya” jawab seorang kawannya yang sedang mengamati tubuh yang terbaring diam dengan luka yang sangat parah itu.

Ketika orang-orang itu menyaksikan luka-luka di tubuh Niskara itu, maka mereka sepakat bahwa luka-luka itu adalah bekas kuku-kuku dan taring harimau.

“Jika hanya seekor harimau, mungkin Niskara akan dapat mengatasinya. Tetapi dua ekor harimau yang besar dan kuat dimalam yang gelap. Bahkan mungkin tiba-tiba.” berkata Kiai Gumrah sambil memandang berkeliling.

“Harimau-harimau itu ada didekat tempat ini. Dari halaman depan kita melihat cahaya matanya yang kehijau-hijauan.” berkata salah seorang tamu Kiai Gumrah itu.

“Ya” juragan gula itu, “tetapi aku tidak melihatnya sekarang. Mungkin harimau-harimau itu bersembunyi. Dengan tiba-tiba mereka akan meloncat menerkam kita.”

“Apakah kita juga akan menjadi ketakutan?” bertanya Kiai Gumrah.

Juragan gula itu tertawa. Katanya, “Harimau itulah yang menjadi ketakutan.”

“Ya. Apalagi setelah mendengar suaramu. Jauh lebih garang dari aum seekor harimau” berkata salah seorang yang lain.

Orang-orang tua itu sempat tertawa. Namun kemudian Kiai Gumrah teringat kepada Manggada dan Laksana yang baru saja sadar dari pingsan. Sambil mendekati kedua orang anak yang termangu-mangu itu, Kiai Gumrah pun bertanya “Apakah kau melihat seekor atau dua ekor harimau didalam atau diluar rumah ini?”

“Tidak kek” jawab Manggada, “yang aku ingat adalah, aku terlempar keluar. Sesudah itu semuanya gelap.”

“Manggada” desis juragan gula itu, “kau lihat, seorang diantara mereka yang datang kerumah ini adalah yang terbunuh itu. Menilik lukanya, tentu bukan luka karena senjata. Luka itu adalah bekas kuku dan taring harimau yang garang. Sementara itu seorang yang lain telah melihat dua ekor harimau dirumah ini. Sehingga dengan demikian mereka tidak sempat mengambil pusaka-pusaka itu meskipun kalian berdua sudah pingsan.”

Manggada termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai Gumrah pun bertanya kepada Laksana, “Apakah kau juga tidak melihat?”

“Tidak kek” jawab Laksana, “akupun menjadi pingsan. Kami berdua tidak mampu menahan orang yang datang untuk mengambil pusaka itu. Tetapi agaknya orang itu gagal karena orang itu justru terbunuh.”

“Baiklah. Kita dihadapkan pada satu teka-teki. Tetapi Kiai Windu Kusuma yang agaknya bersumber pada ilmu hitam itu justru mengira bahwa harimau itu adalah harimau jadi-jadian.”

Para Tamu Kiai Gumrah pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih saja berusaha untuk mengamati keadaan. Seorang diantara mereka telah melihat beberapa batang pohon perdu yang rusak. Ia pun melihat jejak kaki. Kaki harimau.

“Memang ada dua ekor harimau” desis orang itu.

“Baiklah” berkata Kiai Gumrah, “tetapi bagaimana dengan tubuh Niskara ini.”

“Bukan kita yang membunuhnya” berkata juragan gula itu.

“Kita kuburkan saja di sudut kebun belakang. Jika ada orang yang melihat, maka akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi ceritera tentang harimau itu tentu akan segera menjalar keseluruh padukuhan dan bahkan seluruh Kademangan.” berkata seorang yang lain.

Kiai Gumrah pun sependapat. Karena itu, maka mereka telah menggali lubang kubur buat Niskara disudut halaman belakang rumah itu.

Malam yang tersisa itu pun telah diliputi suasana yang lain. Keempat orang tua itu tidak berkelakar lagi seperti sebelum mereka bertempur. Meskipun sekali-sekali masih terdengar mereka tertawa, tetapi tidak meledak-ledak lagi. Manggada dan Laksana pun tidak lagi berada di dapur. Mereka juga berada diruang dalam bersama dengan orang-orang tua itu. Untuk sementara dinding yang koyak itu ditautkan dan diikat saja dengan tali ijuk yang sering dipergunakan oleh Kiai Gumrah mengikat keranjang-keranjang gula.

Juragan gula itu pun ternyata menaruh perhatian yang besar kepada Manggada dan Laksana. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Ngger, kau telah melihat sendiri apa yang terjadi disini. Bahkan ikut pula bermain dua ekor harimau yang tidak diketahui asal-usulnya. Di padukuhan ini sebelumnya kami tidak pernah menemukan seekor harimaupun. Bahkan kucing hutanpun tidak, meskipun disebelah bulak panjang itu terdapat padang perdu yang langsung berhubungan dengan hutan yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi terhitung hutan yang buas. Dan kini, tiba-tiba saja di rumah ini dua ekor harimau. Karena itu, ngger. Sebaiknya kalian berdua mempertimbangkan kemungkinan untuk meninggalkan tempat ini. Bukankah kalian datang kerumah ini sekedar untuk bermalam? Seandainya malam itu angger berada dibanjar, bukankah angger tidak akan tetap berada dibanjar sampai sekarang ini?”

Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun dengan nada rendah Manggada berkata, “Kami mohon maaf bahwa kami masih tetap tinggal. Sebenarnyalah bahwa kami merasa semakin terikat dengan rumah ini. Kami sudah terlanjur terlibat. Setidak-tidaknya menurut pendapat kami sendiri.”

“Ngger” berkata Kiai Gumrah, “seharusnya kau tidak lagi bertahan dirumah ini. Kau tentu melihat, betapa aku selama ini berusaha membohongimu. Aku tidak bersikap terbuka terhadap kalian berdua meskipun kalian dengan ikhlas berusaha membantu kami. Dengan demikian, sepantasnya kalian menjadi curiga kepadaku sehingga kalian tidak lagi percaya kepadaku.”

“Kiai” berkata Manggada kemudian, “aku tahu bahwa tidak semua hal dapat Kiai katakan kepada orang lain, termasuk kepada kami berdua. Tetapi bagaimanapun juga, kami merasa wajib untuk membantu Kiai. Meskipun pengertian membantu itu sesungguhnya tidak lebih dari beban bagi Kiai dan yang lain.”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apaboleh buat. Tetapi kau sudah melihat bahaya yang mengancam rumah ini. Meskipun demikian aku ingin menjelaskan, bahwa dua ekor harimau itu tidak termasuk permainan kami. Kami benar-benar tidak tahu, bahwa kedua ekor harimau itu ada dan bahkan seakan-akan telah membantu melindungi pusaka-pusaka itu atau bahkan pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka sama sekali tidak melihat harimau itu karena mereka menjadi pingsan. Tetapi mereka melihat jejak harimau itu. Dan harimau itu tidak hilang didalam bilik penyimpanan pusaka. Tetapi jejaknya menuju ke sudut halaman dan kemudian jejak itu seakan-akan telah hilang. Tetapi orang-orang tua itu menduga bahwa harimau itu telah meloncat memanjat pepohonan dan kemudian keluar dari halaman.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada berkata, “Kiai. Mungkin aku dapat berceritera tentang dua ekor harimau yang pernah aku lihat.”

“Dimana kau lihat dua ekor harimau yang besar dan garang itu?” bertanya Kiai Gumrah. Keterangan Manggada itu sangat menarik perhatiannya.

Ketika kami berada dibalik hutan dilingkungan kuasa Panembahan Lebdadadi, maka Ki Pandi yang bongkok itu juga mempunyai dua ekor harimau yang jinak. Jinak bagi Ki Pandi, tetapi ia tetap garang bagi orang lain, terutama sesuai dengan petunjuk Ki Pandi. Kecuali kegarangan harimau sebagaimana kebanyakan harimau liar, maka kedua ekor harimau itu telah mendapat latihan-latihan khusus dari Ki Pandi.” berkata Manggada kemudian.

“Ki Pandi orang bongkok itu” tiba-tiba saja juragan gula itu bertanya.

“Ya” desis Manggada ragu-ragu. Ia tidak tahu, bagaimana tanggapan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya itu terhadap orang yang bernama Ki Pandi itu. Jika mereka justru bermusuhan, maka tanggapan mereka tentu akan menjadi aneh, karena harimau-harimau itu justru telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu.

Tetapi seorang tamu Kiai Gumrah yang lain pun kemudian tertawa sambil berkata, “Orang bongkok yang selalu murung itu? He, darimana ia tahu bahwa ada persoalan yang timbul disini. Seandainya kedua ekor harimau itu memang milik orang bongkok itu.”

“Ki Pandi, dan tentu kedua ekor harimau itu mengenal burung-burung elang yang berkuku baja itu. Ki Pandi pernah bertempur dengan Panembahan Lebdadadi.”

Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula itulah yang kemudian berkata, “Memang masuk akal. Tetapi kita masih harus melihat, apakah benar Ki Pandi telah ikut campur dalam persoalan ini.”

“Dan bahkan mungkin juga Ki Ajar Pangukan” desis Laksana.

“Siapakah Ki Ajar Pangukan itu?”bertanya salah seorang kawan Kiai Gumrah.

Laksana termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti bagaimana menjelaskan orang yang bernama Ki Ajar Pangukan itu.

Agaknya Kiai Gumrah mengerti kesulitan Laksana, Katanya, “Kau tentu tidak akan dapat memberikan keterangan lebih banyak ngger, karena bagaimanapun juga kami akan sulit membayangkannya seandainya kami memang belum mengenalnya. Tetapi bagiku orang itu tidak terlalu asing.”

“He, jangan sombong Kiai Gumrah. Kau kira kau dapat mengenali orang seisi bumi ini?”

“Jangan marah” berkata Kiai Gumrah, “tetapi pengetahuanku memang lebih luas dari kau. Aku sudah pernah menjadi penjaja gula keliling dari pasar ke pasar sehingga aku melihat dunia yang penuh dengan gejolak ini.”

“Tetapi ternyata pengenalanmu atas dunia ini masih belum seluas anak-anak itu. He, kau tahu darimana datangnya harimau-harimau itu?” sahut kawannya.

Kiai Gumrah justru tertawa. Katanya, “Jangan merajuk begitu kek. Kita sama-sama penyadap legen kelapa.”

Yang lain pun tertawa pula, sementara orang itu berkata, “Kalau begitu aku pulang saja.”

Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Kiai Gumrah justru berkata, “He, aku masih mempunyai hidangan buat kalian. Marilah. Kita teruskan permainan kita.”

“Tetapi mangkuk-mangkuk itu sudah pecah. Isinya sudah berserakan. Apa yang harus kami makan dan kami minum jika kami masih harus meneruskan permainan itu?”

“Kau kira aku sudah tidak mempunyai makanan lagi? Didalam kuali di dapur masih terdapat ketela dan sukun yang direbus dengan legen. Kalau kalian tidak percaya, bertanyalah kepada kedua orang cucuku itu.”

Ketiga orang tamu Kiai Gumrah itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian juragan gula itu berkata, “Baiklah. Kami akan meneruskan permainan sampai menjelang fajar. Besok aku harus pergi ke pasar pagi-pagi. Aku sudah membuat perjanjian jual beli gula dipasar dengan pedagang dari Kademangan sebelah.”

Manggada dan Laksana pun kemudian membantu mengumpulkan dan membersihkan mangkuk-mangkuk yang pecah serta makanan yang tumpah. Baru kemudian mereka menghidangkan makanan yang masih tersisa dua kuali.

Tetapi orang-orang tua itu nampaknya sudah merasa letih. Mereka tidak lagi banyak tertawa, meskipun sekali-sekali masih terdengar mereka berkelakar.

Menjelang fajar, permainan itu memang sudah selesai. Ketiga orang tamu Kiai Gumrah-pun telah minta diri. Ternyata mereka tidak menghitung lembaran-lembaran daun ketela pohon yang mereka pergunakan dalam permainan dadu itu. Orang-orang tua itu tidak benar-benar bertaruh dengan gula kelapa sebagaimana yang mereka katakan. Sehingga dengan demikian maka Manggada dan Laksana pun semakin yakin bahwa orang-orang itu telah dengan sengaja membantu Kiai Gumrah melindungi pusaka-pusaka yang dititipkan dirumah itu. Meskipun ceritera tentang pusaka yang dititipkan itu pun masih harus diuji kebenarannya. Agaknya Kiai Gumrah memang tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Manggada dan Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana merasakan bahwa orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk.

Ketika para tamu Kiai Gumrah itu sudah bangkit berdiri dan minta diri, juragan gula itu masih sempat berkata kepada kedua orang anak muda itu, “Kalian telah melihat apa yang terjadi disini. Mungkin ada hal-hal yang membuat kalian heran dan bahkan kecewa. Kau mungkin merasakan bahwa tidak semua yang pernah kau dengar tentang Kiai Gumrah, tentang kami, pedagang-pedagang gula ini serta tentang pusaka-pusaka itu, benar adanya. Karena itu, maka apakah tidak sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Berulang kali kami menyatakan hal itu, karena sebenarnyalah kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Justru karena kalian sebenarnya tidak terlibat dalam persoalan yang terjadi disini.”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Meskipun ragu-ragu, namun Mariggada masih berusaha menjelaskan sikapnya. Katanya, “Kiai. Kami masih ingin memohon, bahwa kami diperkenankan tinggal disini untuk beberapa lama. Persoalan yang terjadi disini semakin lama menjadi semakin menarik. Ketika kami melihat burung-burung elang berkuku baja itu, kami merasa seolah-olah kami memang telah terlibat. Apalagi dengan jejak kedua ekor harimau itu. Seakan-akan kami telah mengenalinya. Seandainya harimau itu harimau liar, maka mungkin tubuh kami juga sudah dikoyak-koyaknya disaat kami pingsan. Tetapi ternyata kami masih utuh, sehingga seakan-akan kami yakin bahwa kedua ekor harimau itu telah mengenal kami dengan baik. Atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh orang yang telah mengenal kami.”

Keempat orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, “Kami dapat mengerti perasaanmu ngger. Tetapi kaupun harus ingat, bahwa yang sedang kami hadapi adalah bukan orang-orang kebanyakan. Mereka pun orang-orang berilmu tinggi. Kiai Windu Kusuma menurut penilaianku, adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun ia tidak sempat mempergunakannya karena kehadiran dua ekor harimau yang baginya menyimpan rahasia yang sulit ditebak. Sementara itu Kiai Windu Kusuma juga memperhitungkan kemampuan kami berempat. Tetapi apa yang dilihat dan diamatinya malam ini tentu akan menjadi bahan bagi langkah-langkahnya selanjutnya. Jika ia menyebut-nyebut nama seorang Panembahan, maka Panembahan itu tentu seorang yang jarang ada duanya.”

“Kami mengerti Kiai. Tetapi sulit bagi kami untuk meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya menjadi tuntas.” desis Manggada.

Orang-orang tua itu memang tidak dapat memaksa Manggada dan Laksana untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka akhirnya Kiai Gumrah pun berkata, “Jika demikian, apaboleh buat. Tetapi sebagaimana kalian ketahui, bahwa ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas kami dan tentu saja juga atas kalian sebagaimana baru saja terjadi. Meskipun kemudian ternyata bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kalian berdua dan kami semuanya. Karena kalian berdua juga sudah cukup mempunyai penilaian atas persoalan yang kalian hadapi, serta menyadari bahaya yang mungkin mengancam kalian, maka sebaiknya kalian pertimbangkan keputusan kalian sebaik-baiknya.”

“Rasa-rasanya kami sudah mengambil keputusan Kiai.” jawab Manggada.

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hatinya telah tergetar mendengar tekad anak-anak muda itu. Katanya, “Baiklah ngger. Tekadmu tidak tergoyahkan lagi. Aku berterima kasih kepadamu. Apapun yang dapat kalian lakukan, tetapi niatmu harus aku hargai. Karena itu, jika tekadmu sudah bulat serta menyadari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, maka aku tidak berkeberatan kalian tinggal di rumahku untuk sementara.”

Manggada dan Laksana itu pun mengangguk hormat. Hampir berbareng kedua orang anak muda itu berkata, “Terima kasih. Kiai.”

“Nah, sekarang kalian telah menjadi bagian dari persoalan yang sedang aku hadapi. Jika semula kalian yang berusaha mendorongku keluar dari pergumulan yang sengit karena pusaka-pusaka yang dititipkan kepadaku itu, maka kemudian akulah yang berusaha memaksamu keluar. Tetapi kita bersama-sama tidak berhasil. Karena itu, maka biarlah kita bersama-sama terlibat didalamnya.” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Tetapi juragan gula itu berkata, “Aku tidak tahu yang kau maksud.”

Kiai Gumrah tersenyum. Katanya, “Kedua anak muda ini pernah menganjurkan agar aku berusaha untuk menghindar dari keadaan yang rumit ini atau menitipkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang atau tindakan pengamanan yang lain. Tetapi justru karena aku berkeberatan, maka nampaknya mereka justru terikat dirumah ini untuk melihat akhir dari persoalan yang kita hadapi.”

Juragan gula itu pun tertawa. Katanya, ”Jika demikian, maka kita memang sudah sama-sama bertekad untuk menghadapi persoalan ini. Langsung atau tidak langsung kita memang akan berhadapan dengan Panembahan itu.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa orang-orang tua yang menginginkannya meninggalkan tempat, itu sama sekali bukan didorong oleh keinginan mereka merahasiakan persoalan yang mereka hadapi, tetapi justru karena mereka mencemaskan nasib mereka.

Karena itu, maka kedua anak muda itu merasa bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan sendiri keputusan yang telah mereka ambil. Mereka tidak akan dapat menyalahkan atau menuntut pertanggung-jawaban siapapun jika terjadi sesuatu atas diri mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian para tamu Kiai Gumrah itu pun telah minta diri, sementara cahaya dilangit pun menjadi semakin terang. Fajar pun tersirat dibibir awan di langit. Kicau burung telah membangunkan seisi padukuhan.

Tetapi banjar di sebelah rumah Kiai Gumrah itu masih tetap sepi. Bahkan ternyata semalaman Kiai Gumrah telah lupa menyalakan lampu di banjar karena perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada ancaman yang ternyata benar-benar datang kerumahnya itu.

Kiai Gumrah dan kedua orang anak muda itu pun kemudian telah masuk kembali keruang dalam. Mereka masih harus membenahi ruang dalam rumah Kiai Gumrah yang sempit itu. Mereka harus membuang mangkuk-mangkuk yang telah pecah serta makanan yang telah tumpah, yang semalam sudah mereka kumpulkan di sudut ruangan.

Kepada kedua orang anak muda itu Kiai Gumrah pun berkata, “Kita mempunyai pekerjaan hari ini. Kita harus memperbaiki dinding yang roboh itu. Kita akan menebang beberapa batang bambu dibelakang.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun mereka setiap kali menjadi berdebar-debar jika mereka teringat bahwa disudut halaman belakang telah dikuburkan sesosok tubuh. Niskara. Meskipun kematian Niskara itu tidak disebabkan oleh orang yang ada dirumah itu semalam, tetapi justru masih merupakan teka-teki yang baru dapat diduga-duga jawabannya.

Namun dalam pada itu, selagi seisi rumah itu sibuk membersihkan ruang dalam, tiga orang anak muda telah mendatangi rumah Kiai Gumrah. Di depan rumah mereka telah memanggil-manggil dengan lantangnya.

“Kiai, Kiai Gumrah.”

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Namun ketika mereka akan melangkah keluar, Kiai Gumrah itu berkata, “Tentu anak-anak muda padukuhan ini.”

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Jika mereka anak-anak muda padukuhan itu, maksud kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi semalam.

Sebenarnyalah ketika Kiai Gumrah muncul dari pintu rumahnya, maka yang ditanyakan oleh anak-anak muda itu adalah tentang lampu yang semalam tidak menyala di banjar.

“Semalam kami tidak melihat lampu menyala dibanjar. Sebenarnya ketika kami lewat di depan banjar itu, kami ingin singgah barang sebentar. Tetapi banjar itu gelap.” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.

“Maaf ngger” jawab Kiai Gumrah, “aku benar-benar lupa. Apalagi aku memang agak kurang sehat semalaman.”

“Sudah beberapa kali Kiai lupa menyalakan lampu di banjar. Meskipun sudah ada banjar yang baru, tetapi banjar ini pun masih tetap kita pergunakan. Karena itu, seharusnya Kiai tidak boleh lupa.”

“Lain kali tidak akan terulang lagi ngger.” jawab Kiai Gumrah yang terbungkuk-bungkuk dihadapan anak-anak muda itu.

Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam.

Mereka mengerti bahwa dihadapan anak-anak itu Kiai Gumrah tidak lebih dari seorang pembuat dan penjual gula kelapa.

Namun ketika anak-anak muda itu melihat Manggada dan Laksana yang berdiri dibelakang Kiai Gumrah, maka salah seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah mereka Kiai?”

Kiai Gumrah berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia kemudian menjawab, “Mereka adalah cucu-cucuku, ngger.”

“Apakah mereka akan tinggal bersama Kiai disini?” bertanya anak muda itu.

“Untuk sementara ngger” jawab Kiai Gumrah.

“Nah, jika demikian, biarlah ia bergaul dengan kami. Biarlah mereka ikut dengan kegiatan-kegiatan kami. Gugur gunung memperbaiki bendungan yang setiap kali kami lakukan. Meratakan jalan-jalan padukuhan dan terutama meronda dimalam hari.”

“Baik ngger. Aku akan mendorongnya untuk melakukannya. Tetapi mereka adalah pemalu yang memang jarang bergaul dengan orang lain selain keluarganya sendiri” jawab Kiai Gumrah.

“Mereka tidak boleh berbuat begitu” berkata anak muda yang lain, “jika mereka tidak bergaul dengan kami, maka anak-anak muda di padukuhan ini tidak mengenalnya. Hal itu akan dapat menumbuhkan salah paham yang merugikan bagi kedua cucu Kiai itu.”

“Ya, ya ngger” jawab Kiai Gumrah yang kemudian berpaling kepada Manggada dan Laksana, “bukankah kalian dengar sendiri. Sebaiknya kalian juga bergabung dengan mereka.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Manggada berkata, “Tetapi kami belum mengenal seorang pun diantara mereka kek.”

“Sekarang kau dapat memperkenalkan diri. Nah, jabat tangan mereka, lalu malam nanti datanglah ke banjar.”

Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi mereka pun melangkah keluar dan menjabat tangan ketiga orang anak muda itu.

“Datanglah ke banjar nanti malam. Aku akan berada di banjar lama itu. Meskipun malam nanti bukan giliranku meronda, tetapi aku akan datang. Kalian dapat berkenalan dengan anak-anak muda di padukuhan ini meskipun kau hanya akan tinggal disini untuk sementara.”

“Baiklah” jawab Manggada, “nanti malam biarlah kami berdua datang ke banjar.”

“Bukankah kalian dapat membantu Kiai Gumrah untuk menyalakan lampu di banjar? Kiai Gumrah sudah semakin tua. Ia masih harus memanjat pohon kelapa pagi dan sore.” berkata anak muda yang lain.

“Kami akan melakukannya” jawab Manggada.

Sementara itu Kiai Gumrah menyela, “Sejak mereka berada disini, mereka sama sekali belum pernah keluar halaman. Kedatangan angger bertiga agaknya dapat memancing mereka keluar dari halaman rumah ini. Setidak-tidaknya membantu aku membersihkan dan menyalakan lampu di banjar lama itu.”

“Ya.” sahut salah seorang dari mereka, “lambat laun kalian akan mengenal seisi padukuhan ini. Dengan demikian kalian tidak akan canggung lagi berada disini.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun telah minta diri. Tetapi seorang diantara mereka masih berpesan, “Nah, jangan lupa menyalakan lampu di banjar lama. Dan biarlah kedua cucu Kiai itu membantu Kiai dan bergabung bersama kami.”

“Ya, ya ngger” jawab Kiai Gumrah.

Sepeninggal anak-anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku benar-benar lupa menyalakan lampu semalam. Untung anak-anak muda itu tidak datang kemari. Jika mereka datang kemari, sementara dirumah ini masih ada Kiai Windu Kusuma, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan. Seisi padukuhan akan tergerak untuk mempersoalkannya.”

“Jika mereka lewat didepan banjar, apakah mereka tidak mendengar keributan yang terjadi dihalaman rumah ini Kiai?” bertanya Laksana.

“Halaman-halaman rumah di padukuhan ini pada umumnya luas ngger. Apalagi halaman banjar itu, sehingga apa yang terjadi dihalaman rumahku yang dibatasi dinding batu meskipun tidak terlalu tinggi itu, agaknya memang tidak diketahui orang, kecuali jika ada sekelompok peronda yang menengok halaman ini dari pintu regol halaman.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, sementara Kiai Gumrah itu berkata, “Nah, anak-anak muda itu sudah minta agar kau bergabung dengan mereka. Karena itu, sebaiknya kalian memang sering datang ke banjar. Kalian dapat menyalakan lampu dan membantu membersihkan banjar itu pagi dan sore.”

“Baik Kiai” jawab Laksana dan Manggada hampir berbareng.

“Selanjutnya jika kalian memang sudah berniat tinggal disini meskipun untuk sementara, kalian tidak perlu menyebutku Kiai lagi. Panggil saja aku dengan kakek, agar pada saat tertentu, kalian tidak keliru menyebutnya.” Kedua orang anak muda itu mengangguk mengiakan. Mereka memang lebih senang memanggilnya dengan sebutan yang sama agar mereka tidak perlu mengingat-ingat kapan dan dimana mereka harus memanggil kakek dan kapan mereka harus menyebutnya Kiai.

“Terima kasih. Kiai” berkata Manggada, “bagi kami tentu akan lebih baik, kek.”

“Nah. begitulah. Mulai nanti malam, maka lampu dibanjar adalah tugas kalian. Bukan hanya lampu, tetapi kalian juga harus menjaga kebersihan banjar itu. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, maka banjar yang lama itu masih tetap dipergunakan meskipun sudah ada yang baru.”

“Baik, kek. Banjar lama itu akan menjadi beban tugas kami.” jawab Manggada.

“Nah, sekarang, kita selesaikan pekerjaan kita. Aku terlambat mengambil bumbung itu. Tetapi belum terlalu lambat.” berkata Kiai Gumrah.

“Jika kakek tidak berkeberatan, kami juga ingin belajar menyadap legen manggar, kek.” berkata Laksana ketika Kiai Gumrah mengambil bumbung dan siap pergi ke kebun untuk mengambil bumbung yang tergantung pada manggar kelapa dan menggantinya dengan yang baru.

Kiai Gumrah tertawa. Katanya, “Pada saatnya kalian akan belajar menyadap legen.”

Manggada dan Laksana tidak berbicara lagi. Sementara itu Kiai Gumrah pun telah pergi ke kebun. Meskipun semalam suntuk orang tua itu tidak tidur, tetapi badannya sama sekali tidak nampak menjadi lesu, sementara Manggada dan Laksana yang muda itu merasa mulai diganggu oleh kantuk.

Selagi seisi rumah itu menjadi sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, maka Ki Windu Kusuma pun sibuk berbincang dengan orang-orangnya. Putut Sempada yang juga ada diantara mereka hanya dapat mengumpat-umpat. Ia telah kehilangan seorang kawannya yang dianggapnya cukup baik. Niskara yang telah dikoyak-koyak oleh harimau.

“Ternyata orang tua itu telah memelihara harimau jadijadian” geram Putut Sempada.

“Belum tentu” jawab Kiai Windu Kusuma, “mungkin dua ekor harimau kelaparan yang tersesat sampai ke halaman rumah orang tua itu.”

“Memang mungkin. Tetapi kemungkinan itu mempunyai kesempatan yang sama dengan kemungkinan yang aku katakan, bahwa orang itu memelihara harimau jadi-jadian. Atau malahan pusaka-pusaka itulah yang telah menjelma menjadi harimau.” berkala Putut Sempada.

“Dugaanku belum sampai kesana. Tetapi seandainya demikian, maka pantaslah jika Panembahan menghendaki pusaka-pusaka itu secepatnya.” jawab Kiai Windu Kusuma.

“Tetapi bukankah alasan Panembahan bukan karena pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau yang garang?” sahut Putut Sempada..

“Ya. Memang bukan. Tetapi apakah kau yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Panembahan itu adalah yang sebenarnya?” bertanya Kiai Windu Kusuma.

Putut Sempada menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang mungkin. Tetapi kita tidak dapat mencurigai Panembahan seperti itu.”

“Aku sama sekali tidak mencurigai Panembahan. Tetapi apakah artinya jantung segar yang harus disiapkan jika pusaka-pusaka itu dapat kita kuasai?” bertanya Kiai Windu Kusuma.

“Panembahan mengetahui, bahwa pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah itu, salah satu diantaranya adalah Kiai Simarengu. Selain itu masih ada songsong yang diberi nama Simariwut. Nah, apakah tidak mungkin bahwa nama yang memang mempunyai arti harimau itu ada hubungannya dengan harimau jadi-jadian yang ada dirumah Kiai Gumrah?”

“Ternyata aku menjadi ragu-ragu. Antara percaya dan tidak. Aku masih mencoba untuk menolak anggapan bahwa ada hubungan antara pusaka-pusaka itu dengan harimau yang ada dirumah itu. Tetapi setiap kali aku teringat tentang pusaka-pusaka itu, nama yang diberikan kepada pusaka-pusaka itu, dan perintah Panembahan untuk menyediakan jantung manusia segar yang harus dikorbankan sebagai makanan pusaka yang bernama Simarengu itu.”

Putut Sempada menarik nafas panjang. Katanya, “Kita sama-sama ragu. Tetapi baiklah kita kesampingkan keragu-raguan itu.”

Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Apapun alasan Panembahan, kita harus mendapatkan pusaka-pusaka itu. Kemudian jantung manusia yang segar dan korban bagi pusaka yang disebut Kiai Simarengu.”

“Semuanya itu harus secepatnya kita lakukan” berkata Putut Sempada, “karena menurut Panembahan, jika pada purnama bulan dengan korban itu belum diberikan bagi Kiai Simarengu, maka tuahnya akan hilang sama sekali.”

Kiai Windu Kusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kita memang harus secepatnya menguasai Kiai Simarengu. Sebelum purnama bulan depan ujung tombak itu harus sudah ditanam didada seseorang. Sudah tentu bukan setiap orang yang berjantung segar yang dapat dikorbankan.”

“Itu adalah persoalan Panembahan sendiri. Panembahanlah yang akan menentukan, orang yang bagaimana yang pantas untuk menjadi korbannya itu. Serta upacara apa saja yang harus diselenggarakan. Tugas kita adalah menyediakan pusaka-pusaka itu.”

“Tetapi darimana Panembahan tahu tentang pusaka-pusaka itu. Darimana pula ia mengetahui bahwa jika sampai purnama bulan depan pusaka-pusaka itu belum dimandikan dan disediakan korban jantung manusia yang segar tuahnya akan hilang untuk selama-lamanya.” pertanyaan itu meluncur dari bibir Kiai Windu Kusuma tanpa disadarinya.

Namun Putut Sempada menyahut, “Tidak seorang pun tahu. Tidak pula ada yang tahu bahwa tiba-tiba saja Panembahan dengan mata hatinya sendiri, bahwa di rumah itu tersimpan pusaka-pusaka yang dicarinya untuk waktu yang lama.”

Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Memang banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Panembahan. Tentang ketajaman penglihatan batinnya serta kepekaan panggaritanya. Karena itu, betapa tingginya ilmu Kiai Windu Kusuma, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh orang yang disebutnya Panembahan.

Dalam pada itu, ternyata semua pembicaraan itu terdengar oleh Kundala. Seorang yang hatinya sedang diombang-ambingkan oleh kebingungannya. Kundala seakan-akan sedang berdiri diambang pintu. Terdapat dua tarikan yang sangat kuat menghisapnya keluar dan kedalam. Seakan-akan ia melihat cahaya putih, didalam dan cahaya yang hitam diluar tanpa mengetahui sumbernya.

“Gila” geram Kundala, “kenapa aku mendengar pembicaraan mereka? Jika aku tidak mendengarnya, aku tidak akan merasa berdosa jika aku tidak mengatakannya kepada Kiai Gumrah.”

Namun kemudian sambil menghentakkan tangannya ia berkata, “Persetan dengan Kiai Gumrah. Aku adalah pengikut setia Kiai Windu Kusuma. Aku sudah memperingatkan Kiai Gumrah untuk membunuhku agar aku tidak dapat datang justru membunuhnya.”

Kundala hanya dapat menggeletakkan giginya, menghentakkan kaki dan tangannya. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari tarikan yang seakan-akan sama kuatnya. Ia merasa berkewajiban untuk tetap setia kepada Kiai Windu Kusuma. Tetapi ia merasa bahwa hidupnya yang tersisa itu sudah bukan miliknya. Tetapi milik Kiai Gumrah, sehingga apa yang diketahuinya rasa-rasanya harus diketahui pula oleh Kiai Gumrah.

“Gila. Agaknya aku sudah gila” desis Kundala sambil memukuli kepalanya sendiri.

Namun Kundala telah berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak menunjukkan perubahan sikap dihadapan Kiai Windu Kusuma. Jika gejolak perasaannya itu diketahui oleh Kiai Windu Kusuma, maka ia tidak akan dapat berharap hidup lebih lama lagi.

“Kecuali jika aku melarikan diri dan mengungsikan hidupku pada Kiai Gumrah.” berkata Kundala didalam hatinya.

Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya. Jika ia berbuat demikian, maka ia telah menjadi seorang pengkhianat.

Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba saja seperti petir yang meledak ditelinganya telah mengejutkannya, “Apakah aku memang belum berkhianat?”

Kundala tidak dapat berbuat ingkar kepada dirinya sendiri. Bahwa ia telah memberitahukan akan kedatangan orang-orang berilmu tinggi untuk mengambil pusaka-pusaka itu ketika ia menjemput Putut Sempada di pasar, bukankah itu sudah berarti suatu pengkhianatan.

Karena itulah, maka Kundala itu pun telah tenggelam dalam goncangan perasaan. Ia tidak segera dapat menemukan pijakan sikap yang mapan. Yang kemudian dilakukannya adalah sekedar menyembunyikan gejolak perasaannya itu terhadap Kiai Windu Kusuma serta kawan-kawannya, agar ia tidak dihukum mati dihadapan mereka sebagai pengkhianatan.

Namun untuk sementara Kundala masih mempuyai waktu berpikir ulang atas sikapnya. Menurut pembicaraan Kiai Windu Kusuma dan Putut Sempada dengan beberapa orang pengikutnya, agaknya mereka tidak akan langsung mengambil tindakan baru. Kegagalan mereka telah membuat mereka semakin berhati-hati. Ternyata Kiai Gumrah mempunyai beberapa orang kawan yang berilmu tinggi dan yang meragukan mereka adalah sepasang harimau yang tiba-tiba saja ada dihalaman rumah Kiai Gumrah.

Sementara Kiai Windu Kusuma membuat perhitungan-perhitungan baru, maka rumah Kiai Gumrah menjadi semakin ramai. Kawan-kawan Kiai Gumrah yang tiga orang itu, berganti-ganti datang mengunjunginya. Tidak saja di-siang hari. Tetapi kadang-kadang juga di malam hari. Bahkan kadang-kadang mereka bertiga berkumpul bersama-sama sambil bermain dadu dengan hitungan daun ketela pohon atau daun melinjo. Orang-orang tua itu nampaknya selain berjaga-jaga karena adanya pusaka-pusaka dirumah itu, juga untuk mengisi kekosongan hidup mereka dihari tua.

Manggada dan Laksana bahkan sering bertanya diantara mereka, “Apakah orang-orang tua itu tidak berkeluarga dirumah mereka? Apakah mereka tidak mempunyai anak atau cucu atau apapun?”

Tetapi anak-anak muda itu tidak berani bertanya. Kepada Kiai Gumrah pun mereka juga tidak bertanya tentang keluarganya. Meskipun Kiai Gumrah pernah mengatakan bahwa ia mempunyai anak dan cucu yang tinggal ditempat lain karena anaknya tidak ingin menggantikan tugasnya menjaga banjar lama itu.

Dalam pada itu, memenuhi permintaan anak-anak muda yang pernah datang kerumah Kiai Gumrah, maka Manggada dan Laksana pun sudah pula sering berada di banjar lama. Disore hari mereka menyalakan lampu di banjar dan oncor diregol. Di pagi hari keduanya membantu Kiai Gumrah menyapu halaman dan membersihkan ruangan-ruangan banjar lama setelah Kiai Gumrah mengambil dan memasang bumbungnya di manggar batang kelapa.

Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mulai berkenalan dan bergaul dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan pergaulan anak-anak muda di padukuhan itu. Di malam hari beberapa orang anak muda kadang-kadang duduk-duduk di banjar lama itu. Bergurau dan mengisi waktu mereka dengan berbagai macam permainan. Terutama mereka yang bertugas ronda pada malam itu.

Disiang hari anak-anak muda kebanyakan bekerja di sawah dan ladang mereka. Jika keadaan mendesak, mereka bersama-sama melakukan kerja untuk kepentingan bersama. Memperbaiki bendungan yang harus sering mereka lakukan. Setiap kebocoran betapa kecilnya harus segera diperbaiki. Jika kebocoran itu menjadi semakin besar, maka mereka akan mengalami kesulitan, apalagi dimusim hujan. Banjir dapat datang setiap saat.

Selain bendungan, maka parit-parit pun banyak menuntut pemeliharaan.

Meskipun Kiai Gumrah tidak mempunyai sawah, selain kebunnya yang banyak ditanami pohon kelapa sebagai gantungan hidupnya, namun Kiai Gumrah sendiri juga sering ikut dalam kerja bersama-sama memperbaiki bendungan, parit dan pemeliharaan jalur-jalur air yang menusuk membelah tanah persawahan. Kehadiran Manggada dan Laksana memang memberikan kesempatan Kiai Gumrah untuk lebih banyak berada dirumahnya, karena kedua orang anak muda itu dapat mewakilinya.

Meskipun demikian Kiai Gumrah selalu mengingatkan Manggada dan Laksana agar mereka berhati-hati.

“Orang-orang yang berniat jahat itu mengenal kalian sebagai cucu-cucuku” berkata Kiai Gumrah, “karena itu, mereka akan dapat berbuat jahat terhadap kalian.”

“Tetapi setiap kali, kami berada diantara orang banyak, kek” jawab Manggada, “aku kira, mereka juga memperhitungkan hal itu.”

“Tetapi tentu ada saatnya kalian hanya berdua. Mungkin saat kalian membersihkan banjar atau menyalakan lampu atau pada saat-saat lain. Karena itu dalam keadaan terpaksa, jangan segan-segan membunyikan isyarat.”

“Baik, kek” jawab Manggada.

Demikianlah maka hari dan haripun lewat. Ternyata masih belum ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang menginginkan pusaka-pusaka itu kembali. Meskipun demikian, namun kawan-kawan Kiai Gumrah masih saja sering datang kerumah Ki Gumrah. Kadang-kadang sendiri, berdua atau bahkan bertiga bersama-sama.

Setelah sekian hari berlalu, teka-teki tentang dua ekor harimau itu pun masih tetap belum terpecahkan. Sejak peristiwa itu, maka tidak pernah nampak seekor harimau pun di halaman rumah itu. Atau bahkan di padukuhan itu. Jejaknyapun tidak pernah dilihat orang dipadukuhan.

Namun setelah agak lama keadaan menjadi tenang, maka tiba-tiba Manggada dan Laksana telah melihat seekor elang yang terbang melayang-layang diatas rumah Kiai Gumrah.

Karena itu, maka ia pun segera berlindung dibawah rimbunnya pepohonan. Sementara itu, Kiai Gumrah agaknya juga melihat burung elang itu. Ia memberi tahukan hal itu kepada Manggada dan Laksana dari kebun kelapanya.

“Hati-hatilah” berkata Kiai Gumrah, “elang itu nampak lagi di langit.”

“Ya, Kiai” jawab Manggada.

Namun Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak berusaha untuk berlindung dari pengamatan burung elang itu.

Ia masih saja memanjat sebatang pohon kelapa. Tetapi tidak untuk memasang bumbung legen. Kiai Gumrah memanjat sebatang pohon kelapa yang dibiarkannya berbuah untuk mengambil buahnya.

Dalam pada itu, dari balik rimbunnya dedaunan,

Manggada dan Laksana berusaha untuk dapat melihat apa yang dilakukan elang itu. Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat yang lampau, maka elang itu berputar-putar beberapa kali diatas rumah Kiai Gumrah, menukik dan kembali naik ke ketinggian.

Namun beberapa saat kemudian, maka elang itu pun telah terbang menjauh, sehingga akhirnya hilang dilangit.

Ketika Kiai Gumrah kemudian turun dari pohon kelapa. Manggada dan Laksana pun telah mendekatinya. Kedua anak muda itu ikut memungut beberapa butir kelapa yang dipetik oleh Kiai Gumrah dari batangnya itu.

“Elang itu berputar-putar, kek.” desis Laksana.

“Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat lalu” jawab Kiai Gumrah, “nampaknya orang-orang itu sudah mulai bersiap-siap untuk bergerak lagi.”

“Mereka tentu sudah siap pula untuk melawan dua ekor harimau itu, kek” berkata Manggada kemudian.

“Mereka mungkin benar-benar menyangka bahwa kedua ekor harimau itu adalah harimau jadi-jadian. Atau barangkali tombak-tombak atau payung itulah yang dikiranya dapat menjelma menjadi harimau atau dari dalamnya keluar sepasang harimau itu.”

“Apapun yang mereka katakan, tetapi nampaknya harimau itu telah membantu kita. Atau tanpa niat membantu kita, tetapi harimau-harimau itu adalah musuh bebuyutan dari orang-orang yang datang itu sehingga harimau-harimau itu menyerang mereka.” sahut Manggada kemudian.

” Apapun yang akan terjadi, kita harus meningkatkan kewaspadaan kita. Kita berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi meskipun mereka kurang memperhitungkan penalaran kita” berkata Manggada kemudian.

“Maksudmu?” bertanya Kiai Gumrah.

“Bukankah burung elang itu telah mengisyaratkan kepada kita agar kita bersiap menghadapi segala kemungkinan?” jawab Manggada meskipun agak ragu.

“Kau benar ngger. Tetapi mungkin juga justru Panembahan itu ingin menakuti kita atau semacam tantangan bagi kita, karena mereka terlalu yakin akan kelebihan mereka.” jawab Kiai Gumrah.

Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana bertanya, “Semacam sikap sombong begitu, kek?”

“Ya, begitulah. Tetapi kesombongan mereka benar-benar berisi karena mereka memang berilmu tinggi.” jawab Kiai Gumrah.

Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara itu Manggada telah mengupas kelapa-kelapa yang baru saja dipetik itu dengan slumbat, semacam linggis yang ujungnya tajam dan pipih.

Namun ketika mereka membawa kelapa-kelapa yang sudah terkupas itu kedapur, Manggada masih bertanya lagi, “Kek, apakah Kakek tidak berniat untuk membuat hubungan dengan Ki Pandi?”

“Si Bongkok itu?” bertanya Kiai Gumrah.

“Ya, kek. Kami masih menghubungkan kedua ekor harimau yang datang itu dengan kedua ekor harimau milik Ki Pandi. Mungkin kedua ekor harimau itu masih mengenali kami berdua, sehingga saat kami pingsan, kami tidak dikoyak-koyaknya seperti Niskara itu.”

Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku tidak tahu dimana Si Bongkok itu berada. Aku memang mengenalinya, tetapi tidak begitu akrab. Meskipun demikian, jika kami bertemu, maka aku akan menjajagi hatinya, apakah ia merasa bersangkut-paut dalam persoalan ini, atau karena Si Bongkok itu sekedar ingin menyelamatkan kalian berdua dari tangan Niskara meskipun akibatnya juga menyelamatkan pusaka-pusaka itu.”

Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja. Mereka sadar sepenuhnya bahwa tidak semua dikatakan dengan terbuka oleh Kiai Gumrah. Bagaimanapun juga Kiai Gumrah harus berhati-hati terhadap dua orang anak muda yang belum diketahui dengan pasti asal-usulnya.

Demikianlah, maka ketiga orang itupun menjadi sibuk memecah dan mencukil kelapa. Kiai Gumrah hari itu ingin membuat minyak kelapa karena minyaknya sudah habis. Selain untuk memasak. Kiai Gumrah juga mempergunakan minyak kelapa untuk lampu dirumahnya dan di banjar.

Karena kesibukannya itu, maka hari itu Kiai Gumrah memang tidak pergi menyerahkan gula kelapa kepada juragan gula yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya.

“Besok saja akan aku serahkan sekaligus dengan hasil besok pagi” berkata Kiai Gumrah, “hari ini aku masih mempunyai uang cukup. He, bukankah beras masih cukup sampai dua hari lagi?”

“Masih, kek.” jawab Manggada.

“Baiklah. Biarlah hari ini aku tidak pergi. Aku akan membuat minyak kelapa.” berkata Kiai Gumrah kemudian.

Bertiga mereka pun kemudian sibuk mengukur kelapa. Memeras santannya dan kemudian memanasi santan itu agar menjadi minyak.

Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana sempat berbicara diantara mereka ketika Kiai Gumrah keluar dari dapur beberapa saat.

“Kiai Gumrah tidak meninggalkan rumahnya bukan karena membuat minyak. Kami dapat melakukannya” berkata Manggada.

“Ya. Tentu elang itu membuatnya berjaga-jaga hari ini dan tentu juga malam nanti” sahut Laksana.

“Ia menanggapi isyarat burung elang itu dengan sungguh-sungguh” desis Manggada.

Keduanya pun terdiam ketika Kiai Gumrah telah berada di dapur itu lagi.

Untuk beberapa saat ketiganya terdiam. Mereka sibuk dengan tugas mereka masing-masing didapur itu.

Namun selagi mereka bertiga sibuk, tiba-tiba saja seseorang muncul dari pintu butulan. Sambil tertawa orang itu bertanya, “He, Kiai Gumrah. Apa yang kau kerjakan hari ini? Kenapa kau tidak menyerahkan gula? Aku menunggu-nunggu sesiang ini sehingga hari ini aku terpaksa tidak pergi kepasar. Tentu sudah kesiangan. Para pedagang gula telah meninggalkan pasar.”

“Aku sedang membuat minyak” berkata Kiai Gumrah.

“Kenapa begitu tergesa-gesa? Bukankah dapat kau lakukan siang nanti? Seandainya minyakmu sudah habis sama sekali, bukankah baru nanti malam minyak itu kau pergunakan.”

“Aku akan menggoreng ikan lele. Sebentar lagi aku akan turun kebelumbang” berkata Kiai Gumrah.

Juragan gula yang datang itu ternyata malahan berjongkok disamping Kiai Gumrah yang menunggu santannya yang mendidih. Katanya, “Pekerjaan yang menjemukan. Kau harus mengaduk santan itu terus-menerus.”

Kiai Gumrah itu mengangguk. Katanya, “Aku sudah terbiasa melakukannya.” Lalu tiba-tiba katanya kepada Manggada dan Laksana, “Ambil kayu bakar lagi, anak-anak”

Manggada dan Laksana pun kemudian bangkit dan melangkah keluar dapur untuk mengambil kayu bakar.

Namun sambil memungut kayu bakar Manggada berkata, “Juragan gula itu juga melihat elang yang berputaran. Mereka tentu sedang merundingkan apa yang akan mereka lakukan, karena agaknya mereka mulai mendapat isyarat, bahwa Kiai Windu Kusuma atau bahkan Panembahan itu sendiri akan mulai bergerak lagi.”

Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa kita tidak boleh mendengar pembicaraan mereka?”

“Tentu ada sebabnya. Mereka tidak ingin membuat kita gelisah, atau mereka memang belum sepenuhnya mempercayai kita.” jawab Manggada.

Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak berbicara lagi. Mereka masing-masing membawa seonggok kayu bakar ke dapur untuk memanasi santan yang dibuat minyak itu.

Ketika mereka masuk kedapur, maka dilihatnya Kiai Gumrah dan juragan gula itu berbincang dengan sungguh-sungguh. Sekilas mereka memandang kedua orang anak muda yang masuk sambil membawa kayu bakar itu. Namun mereka ternyata masih berbincang terus. Meskipun perlahan-lahan Manggada dan Laksana dapat mendengar juga Kiai Gumrah berkata, “Baiklah. Biarlah orang itu disini untuk satu dua hari.”

Keduanya ternyata tidak berbicara lebih panjang lagi. Juragan gula itupun bengkit berdiri sambil berkata kepada Manggada dan Laksana, “Ngger. Kami memang tidak akan merahasiakan lagi kegelisahan kami. Kalian lihat burung elang itu terbang berputar-putar lagi. Kalian tentu juga dapat menduga maksudnya.”

“Ya Kiai” jawab Manggada dan Laksana hampir berbareng.

“Nah, karena itu, maka salah seorang dari antara kami bertiga akan tinggal dirumah ini. Kita memang harus berjaga-jaga. Jika kita masih saja sekedar bermain-main, sementara lawan kita mulai bersungguh-sungguh, maka kita akan dapat terjebak dalam kesulitan yang parah.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.

Sementara juragan gula itu berkata, “Sudahlah, aku minta diri. Malam nanti dirumah ini akan bertambah penghuninya meskipun sebelumnya juga hampir selalu berada dirumah ini.”

Demikian juragan gula itu pergi, maka Kiai Gumrah pun berkata kepada Manggada dan Laksana dengan nada dalam, “Aku tidak dapat berpura-pura lagi ngger. Aku dan saudara-saudaraku itu memang menjadi gelisah. Kami benar-benar harus mempertahankan pusaka-pusaka itu. Tetapi jangan bertanya lebih dahulu, apakah aku berbohong atau tidak tentang pusaka-pusaka itu. Yang penting, pusaka-pusaka itu tidak boleh berpindah ketangan orang lain.”

Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba saja Laksana bertanya, “Tetapi apakah benar tidak boleh ada pihak lain yang ikut melindungi pusaka-pusaka itu, kek. Misalnya prajurit Pajang atau setidak-tidaknya orang-orang padukuhan ini.”

“Alasanku seperti yang pernah aku katakan ngger. Aku tidak berpura-pura. Kau tentu tahu, jika aku melibatkan orang-orang padukuhan untuk melawan orang-orang berilmu tinggi itu, apakah tidak sama artinya aku menabur maut di padukuhan ini?”

Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa akibatnya memang akan menjadi sangat parah. Sementara itu. Kiai Gumrah juga tidak dapat menyerahkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang.

“Sudahlah. Apapun yang terjadi, kita akan mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan kekuatan dan kemampuan kita sendiri.” berkata Kiai Gumrah. Lalu katanya pula, “Tetapi sebaiknya malam nanti kau tidak terlalu lama berada di banjar. Sebaiknya setelah beberapa saat berkumpul dengan anak-anak muda jika mereka datang ke banjar, kalian harus segera pulang. Kalian dapat memberi alasan apa saja. Mungkin ada pekerjaan yang harus kalian lakukan, atau salah seorang dari kalian mengatakan bahwa badan kalian sedang tidak enak atau apapun. Elang yang berputar-putar itu membuat aku menjadi gelisah. Apalagi orang-orang itu tentu sudah mengenal kalian pula.”

“Baik kek” jawab Manggada, “kami tidak akan terlalu lama berada di banjar malam nanti.”

  0ooo0dw-arema0ooo0

 Bersambung ke jilid 3

Kara SH Mintardja

Seri Arya Manggada 3

Sang Penerus

Sumber djvu : Ismoyo

Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ

Tiraikasih Website

http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/

http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar